Wednesday, August 3, 2011

part 3

Kejadian kemarin itu membimbangkan hati Shilla. Hampir 2 tahun ia di Bandung, apa yang ia lewatkan dari kakaknya ini? Ada apa dengan kakaknya di 2 tahun terakhir ini? Gadis itu mengehela nafasnya pelan berusaha tak memikirkannya. Dan memejamkan matanya agar tak terus terjaga.

*
Everybody's laughing in my mind
rumors spreadin 'bout this other girl
do you do what you did when you did with me
does she love you the way i can?
Do you forget all the plans that you made with me,
cause baby, i didn't

that should be me
holding your hand
that should be me
making you laugh
that should be me
this is so sad
that should be me
that should be me

cklek.

Suara kenop pintu kamar gadis itu pun menghentikan permainan pianonya. Tanggung banget, fikirnya. Ia menengok ke belakang. Lalu melengos.

"lo ga ngetuk dulu gitu? Tiba-tiba masuk kamar gue. Without any excuse lagi. Ck"

Pemuda bermata sipit itu tak menjawab. Ia mendekat-mendekat-dan-mendekat. Lalu mendesah pelan. "gue kangen lo main piano kaya gini, Shill" katanya. Lalu ia duduk di sebelah Shilla dan... Apa yang terjadi?

"hm. Gue juga kangen main piano sama lo gini, kak"

Alvin -kakaknya- tersenyum lalu mulai memainkan jemarinya di atas tuts-tuts grand piano di kamar adiknya ini. Tapi kemudian, ia menghentikan permainannya. "would you play this piano with me, dear?" katanya sembari menguntai senyum yang melelehkan siapapun yang melihat.

"sorry, kak. It almost at 5.30. I must prepare myself. I swear. Nanti sepulang sekolah. Ok, kak?"

Pemuda itu hanya mengangguk. Lalu beranjak dari hadapan grand piano itu.

*
Shilla benar-benar tetap pada pendiriannya. Kakaknya masih berteriak-teriak memanggilnya. Tapi ia tetap berlari. Keluar dari rumahnya, setelah itu menyetop angkutan umum dari depan pintu masuk perumahan Airlangga. Salah satu perumahan ter-elite di Jakarta.

"shilla!!!!! Elo tuh ga gila dikiiiittt aja kenapa sih? Hhhh"

Alvin pun berbalik. Kembali menuju rumahnya. Ia pun segera bersiap, lalu berangkat ke sekolah. Yeah. As usual.

*
Rupanya busway tidak terlalu buruk juga. Mulai besok dan seterusnya, ia akan sekolah dengan kendaraan sejuta umat itu.

Untungnya ia tidak sendirian. Yeah. Siapa lagi kalau bukan teman sebangkunya? Shilla saja masih terheran. Kenapa ify mau bersamanya? Padahal kan bmwnya selalu siap mengantar pemiliknya kemana saja. "elo nolak ajakan gue mulu sih, shill. Yaa dengan alasan demi elo deh gue rela naik itu. Tapi gapapa kok. Nyaman juga. Mulai besok kita barengan naik itu ya. Hahaha"

Dasar orang kaya yang aneh, fikir Shilla. Tapi ia buru-buru merevisi fikirannya itu. Seaneh-anehnya Ify, masih tetap anehan Shilla, bukan?

"eh, gue duluan ya, Shill. Si Mai sms gue. Katanya tantenya istrinya pak kepsek meninggal. Jadi kerjaan-kerjaan osis harus dirampungin sekarang. Yaa sebagai pengurus osis yang baik, gue harus bantuin si Mai. Sorry ya, Shill" Shilla hanya mendengus kesal. Sahabatnya ini memang pengurus osis yang baik. Walaupun hanya seksi bidang kesenian, ia tak pernah absen disetiap rapatnya.

*
Masih ada 30 menit sebelum bel masuk. Gadis itu memutuskan untuk keluar sebentar. Disekitar sekolahnya memang ada sebuah jejeran pohon yang lebat -seperti hutan- namun bukan hutan. Shilla paling suka tempat-tempat seperti itu.

Baru menginjak beberapa langkah, gadis itu sudah dikejutkan suara-suara serapahan dan pukulan-pukulan yang sangat mengganggunya.

"gue capek berantem sama lo terus kka!! Itu udah setahun yang lalu!!" kata pemuda satunya. Masih bersandar di cagiva hitam legamnya. Ujung bibirnya sudah dipastikan telah menerima pukulan dari pemuda satu lagi. Itu sangat nyata terlihat oleh gadis yang ketakutan di balik pohon besar.

Tiba-tiba terdengar pukulan lagi. "gue ga peduli, yel! Lo bajingan! Gara-gara lo! Arrgghh!!!"

Suasana semakin tak terkendali. Bukan hanya kedua pemuda itu yang terluka. Tapi motor mereka juga babak belur. Shilla tak kuasa melihat kedua pemuda ini lebih jauh lagi. Dihari keduanya... Mengapa dirinya harus menyaksikan aksi se frontal ini? Shilla buru-buru beranjak dari tempat itu.

Namun ternyata... Dewi fortuna sedang singgah darinya. Akar pohon mahoni itu menyandung kaki gadis itu sehingga ia jatuh. Tentunya, bunyi itu terdengar ditelinga kedua pemuda itu. Shilla kalut. Lalu ia berlari meninggalkan tempat itu tanpa peduli kedua orang itu mengetahuinya atau tidak.

*
Hari ini, Ify tak sanggup belajar di kelas. Ia kelewat sibuk untuk belajar -bahkan hanya singgah- dikelas. Shilla menghela nafas. Sepertinya dewi fortuna memang tak menyukainya hari ini.

Di tengah lamunan Shilla, sesosok pemuda tinggi memasuki kelasnya.

"minggir"

Nada senioritasnya kental terasa. Seluruh siswa kelas X.3 aksel menyingkir memberi jalan kepada sang senior -yang notabenenya penguasa-. Ia menghampiri meja Shilla yang masih memainkan penanya.

"yang lain, tolong keluar sebentar" katanya lagi. Walaupun tersisip kata tolong disana, Shilla merasa kata-katanya tadi adalah perintah. Bukan meminta tolong.

"lo... Yang liat gue berantem tadi?" katanya memulai pembicaraan.

"i..iya kak. Ma..maaf tadi sa..saya cuma mau be..belajar di..sana. Sa..saya..." tiba-tiba kakak kelasnya itu memotong pembicaraan. Di satu sisi, ia ingin staycool didepan kakak kelasnya ini. Namun disisi lain, ia sedikit takut. Hanya sedikit.

"diem. Gue cuma minta lo jawab iya atau engga"

Gadis itu terdiam.

"lo ga berniat untuk cerita sama orang lain, kan?"

Gadis itu hanya menggeleng.

"bagus!" Cowok itu mendekatkan wajahnya ke wajah Shilla. Mutiaranya menatap tajam ke telaga bening milik Shilla.

"tadi, apa aja yang lo liat?"

"cuma... Kakak sama orang berantem. Terus..." lagi-lagi Cowok itu memotong pembicaraannya.

"stop. Kalo gini caranya, gimana gue mau percaya sama elo" Shilla terperangah lalu mengangguk. Mengerti.

Mereka direngkuh keheningan sejenak. Cowok itu seperti sengaja membiarkan kesunyian ada di antara mereka dengan menatap lekat-lekat telaga bening meneduhkan itu. Rasa ini... Apakah rasa yang itu lagi...

Cowok itu tiba-tiba berdiri. Lalu meninggalkan Shilla dalam kesunyian. Yang masih terasa hingga sosoknya tak terlihat lagi.

*
SMA Pelita Harapan Bandung.

Pemuda itu masih terbelenggu dalam penyesalan yang teramat sangat luar biasa. Setelah gadis itu memutuskan untuk mengikuti kakaknya ke Jakarta, rasa itu makin kuat dan hampir tak terkendali.

Tiba-tiba, gadis bertubuh mungil mendekatinya. Pemuda itu menghela nafas sebisanya. Seakan gadis mungil itu adalah makanan yang tak disukainya.

"yoo, nanti anterin aku shopping ya.. Please. Kamu kan kemaren ga jadi nemenin aku ke salon, nah hari ini gantinya!! Ya, yo?" katanya manja sambil menggelayuti lengan Rio -pemuda itu-.

Rio melengos. "ke, lo kan bisa shopping sama temen-temen lo. Gue capek. Mau langsung pulang" katanya singkat sambil menyingkirkan tangan keke dari lengannya.

Rio benar-benar malas menemani anak manja yang tak lain adalah gadisnya itu. Ia -lagi-lagi- menghela nafas. Mengapa dengan bodohnya ia memilih gadis itu dibandingkan Shilla. Gadis yang semestinya ada di posisi Keke sekarang. Hhh Rio menghela nafas. Andaikan waktu dapat terulang...

*
Cagiva hitam legam itu kini bertengger di depan gerbang Superior High School. Pemiliknya sedang menyipitkan matanya sembari mencari-cari sosok gadis yang ada di tempat bertengkarnya tadi.

Pemuda itu menggenggam untaian berbandul bintang laut terkenal di serial kartun anak-anak, Spongebob. Ia tersenyum geli, setelah itu mencari-cari gadis itu lagi.

Akhirnya, target pun datang. Cowok itu mendekatinya.

"hai" sapanya ramah.

Gadis itu masih terdiam. Iakah yang tadi dilihatnya? "eh, hai" katanya agak sedikit terbata-bata.

"ini punya lo?" tanyanya lagi. Ia mengeluarkan untaian berliontin patrick star tadi sembari tersenyum.

Gadis itu meraba lehernya. Ah tidak ada! Mengapa ia seceroboh itu?

"eh iya. Thanks ya"

Pemuda itu kembali tersenyum. "eh iya. Nama lo siapa?"

Gadis itu mengaitkan kalungnya kembali. "Shilla. Kalo elo?"

Cowok itu terdiam. Tak percaya. Dia Shilla? Ashilla Zahrantiara kah? Tidak mungkin! Tidak mungkin!!!

0 speeches:

Post a Comment