Wednesday, August 3, 2011

part 16 a

Alvin menurunkan Ify di depan pintu gerbang rumahnya. Nuansa Perancis sangat kental terasa. Pintu gerbangnya berornamen sedikit ukiran khas yang simpledan indah dipandang.

Di bagian pagarnya di cat putih pucat. Di bagian pojoknya, di tata lampu cantik berujung tajam yang sering terlihat di negara penuh cinta itu. Rumahnya tak begitu besar. Namun terlihat indah. Sarat akan dekorasi tingkat tinggi, seni, juga memori sepertinya.

“Walaupun kakak udah ngajak saya kemana-mana dengan nggak jelasnya, tapi makasih deh kak udah di anter pulang. Lain kali nggak mau lagi deh saya jalan sama kakak.” Kata Ify yang tentu saja menyadarkan lamunan pemuda sipit itu.

Pemuda itu menggarukkan kepalanya yang sesungguhnya tak gatal. Kemudian ia menoleh ke arah Ify. “Jangan pernah lagi lo ngomong kaya gitu. Kalau Zeze denger bisa abis lo, Fy.” Katanya tajam.

Ify hanya melengos kesal. Alvin yang menyadarinya makin menyeringai. “lo harus takut sama gue, Fy. Gue berkuasa. Gue patut di takuti. Dan kalaupun elo nggak takut, itu namanya nantang. Dan kalau elo nantang, itu artinya elo cari mati.”

“kakak udah deh kakak pergi aja!! Saya mau masuk!” kata Ify akhirnya. Ia pun berlalu meninggalkan Alvin yang wajahnya masih dihiasi senyum penuh kemenangan itu.

Alvin menghela nafasnya kemudian. Diraihnya ponsel di dashboard mobilnya. Setengah lima. Belum terlalu sore. Alvin segeravmengirimkan pesan singkat itu.

*
Patton masih melantunkan salah satu lagu Bruno Mars yang sedang di putar di Land Rovernya. Sesekali pemuda manis itu melirik sepupunya yang hanya memegangi iphonenya saja.

Tiba-tiba getaran dari iphone itu pun dirasakan pemiliknya. Sms. Alvin.

‘shill, lo d rmh kan? Gue otw. Mo nagih janji lo. See ya CHILLAAA :xx’

“PATT!!” pekiknya seketika. Patton tersentak.

Ditatapnya sepupunya yang masih mematung di tempat. Dengan iphone di genggamannya dan wajah terkejut kontan membuatnya mengernyit. “kenapa?” tanyanya yang sudah pasti terabaikan si gadis patung itu. Patton pun mengambil iphone di genggaman Shilla. Dibacanya pesan singkat yang tertera dilayar.

Sekejap, pemuda manis itu menginjak pedal gasnya dalam-dalam. Pastinya membuat Shilla yang masih bergeming tersentak hebat.

Wajah gadis itu tak berubah. Masih tatapan penuh tanya. Namun untuk sebab yang berbeda.

“lo tau kan kita butuh waktu sepuluh menit untuk sampe ke rumah lo?” tanya Patton tanpa menoleh ke Shilla.

Shilla masih mengernyit. Namun kemudian ia mengangguk pasti. “yaiyalah, Pat! Gue udah sering lewat sini kali!!”

“dan lo nggak tau kan sekarang kak Alvin ada di mana?” tanya pemuda itu lagi.

Kali ini Shilla hanya menggeleng tanpa suara.

Patton menoleh kemudian. “itu lo ngerti. Kita cuma bisa ngebut dan berdoa biar nggak macet sekarang. Itu sih mending kalau kita sampe rumah lo duluan. Kalau nggak gimana? Mau bohong? Gue sih nggak pa-pa” katanya menyeringai.

Shilla memajukan bibirnya. Lalu melengos pelan. “dih. Itu mah emang elo jagonya. Yaudah gue tanya kak Alvin dulu dia lagi di mana” ucapnya. Ia pun menyentuh layar iphonenya, lalu mengetikkan jawaban untuk kakaknya.

Setelah terkirim, Shilla menghidupkan tape mobil sepupunya itu. Kali ini mengalunlah lagu ‘Rain Of July’. Soundtrack film indonesia ternama, Catatan Akhir Sekolah.

Mereka berdua terlihat menikmati lagu yang sarat akan memori dan kenangan itu. Namun kemudian Patton memukul kemudinya.

“anjrit! Di depan macet parah! Kak Alvin udah bales?”

Ini sedang di bilangan Jakarta Timur. Tol yang di lalui mereka memang tol yang jarang lenggang. Seharusnya mereka tak melalui jalan ini.

Shilla menggigit bibirnya. Terdiam. Lalu kemudian mengangguk pasti setelah merasakan getaran dari pesan singkat kakaknya itu. “kak Alvin lagi di... Manque! Astaga, Pat! Itu di ujung tol ini! Mati!!”

Patton sempat tersentak. Namun kembali biasa lagi. Ini udah nggak mungkin, fikirnya dalam hati.

“oke. Cuma ada dua pilihan. Kita bohong di perjalanan gara-gara tiba-tiba ketemu kakak gue atau kita bohong di rumah karena kakak gue udah sampe duluan. Yeah!” kata Shilla sembari bertopang dagu.

Patton tersenyum lebar sembari menaik-turunkan kedua alisnya. “ide gue dipake juga nih?” katanya menggoda Shilla.

Gadis itu mendengus keras. “Pat, please! Jangan sampe kak Alvin tau kalau kita ke rumah Rio tadi.”

“yaudah!!!! Ayo susun skenario bohongnya!” skenario? Please, Pat!

*
“bener deh kak. Tadi kami ke pim dulu. Mau nyari charger macbook. Kan punya gue agak-agak. Makanya tadi gue ngajak Patton.” Setelah bercerita panjang lebar, Shilla kembali meyakinkan kakaknya ini.

Kemudian Patton menimpali. “tadi batre iphone Shilla abis. Makanya dia nggak bales sms terakhir lo. Tadinya gue mau minjemin bb gue. Tapi kata Shilla nggak usah. Hehe”

Alvin mengangguk. Ia memasukan kentang goreng ke mulutnya, lalu mengunyahnya pelan. Sebelah tangannya telah masuk di saku celananya. Pemuda sipit itu masih bersandar di pilar tinggi rumahnya. “gitu?!”

Shilla dan Patton saling pandang, lalu mengangguk yakin kemudian. “iya kak!”

Shilla melangkah ke arah kakaknya. Melepas kacamata berframenya lalu berhenti tepat di hadapan Alvin. “emang mau nagih yang mana kak? Hehe”

Alvin menghela nafasnya “piano.. sekalian mau nanya sesuatu sama lo.”

Merasa diacuhkan, Patton memutuskan untuk ke kamarnya saja. Di ambang pintu kamar, ia sempat berteriak. “KAKKKK ELO PUNYA UTANG LOH YA SAMA GUE!”

Setelah mendengar kata “iya” dari Alvin –yang disampaikan dengan teriakan pula- pemuda manis itu langsung menutup pintu kamarnya.

Akhirnya, Alvin dan Shilla masuk bersisian. Tepat di depan pintu bertuliskan ‘HERE IS JUST THE WAY YOU’RE NOT’, Alvin melirik Shilla sejenak lalu berbisik, “pianonya tar aja.” kemudian Alvin membuka ruangan serba-merah itu. Shilla langsung menduduki sofa di seberang king bed Alvin, lalu mengambil psp yang tergeletak disebelahnya.

Alvin menghela nafasnya berat. “ini soal Ify” ucapnya pelan.

*
Gabriel memasuki kawasan perumahan merah tengah kota itu. Sembari menderu cagiva hitamnya, ia berfikir pula. Baru saja ia pulang dari makam Sivia. Namun tak ditemukannya karangan bunga-bunga segar yang biasanya menghiasi nisannya.

Memang tidak setiap hari Gabriel mengunjungi makam sepupunya itu. Namun biasanya tidak begini.

Pemuda itu mengerutkan dahinya ketika sampai di depan pintu gerbang rumah sepupunya. Terbuka. Lebar. Ia pun masuk ke dalamnya lalu menutup gerbangnya tadi.

Ternyata bukan hanya gerbang. Pintu utamanya pun terbuka. Gabriel masuk tanpa permisi akhirnya. Mencari sepupunya tentunya.

“ck. Kalo masuk itu ketuk dulu, bisa?” kata seorang gadis yang baru saja keluar dari dapur dengan membawa secangkir cokelat panasnya.

Gabriel refleks menoleh ke arah sepupunya tadi. “salah siapa pintunya kebuka? Gerbang lo juga kebuka tuh. tapi udah gue tutup.” Katanya sembari duduk di sofa krem itu.

“lupa nutup tadi.” katanya yang disambung dengan menghirup aroma khas cokelat yang kelewat nikmat.

Gabriel menganggukkan kepalanya. “tadi nggak ke makam Via?”

Gadis itu menggeleng, lalu duduk berseberangan dengan Gabriel. “gimana mau ke sana? Gue aja di sandera sama cowok pshyco, kak.”

Pemuda yang tadinya terduduk manis itu kini mengejang. Matanya kontan menyipit. Agak cemas sebenarnya. “PHSYCO?!”

“hm. Ini aja baru pulang.” Ucapnya sembari meneguk cokelat panasnya tadi.

“siapa?” tanyanya masih menyipitkan matanya.

Gadis itu menghela nafasnya kuat-kuat. “you know who.” Katanya sambil menaikkan kedua alisnya.

*
Shilla memutar bola matanya. Membenahi duduknya yang terlihat sudah tidak nyaman. “manque atau manques itu bahasa perancis, kak. Gue agak nggak ngerti sih soalnya kalo lagi tu pelajaran, gue sering madol atau molor. Haha. Jadi, manque itu artinya kangen. Bahasa tingginya rindu deh. Jadi Ify rumahnya disana?”

Alvin mengangguk. “oh. Kangen? Sivia dulu sering ngomong itu. Pantes gue nggak asing” katanya. Ia menghembuskan nafasnya pelan.

“oh iya! Lo beneran suka sama Ify nggak sih? Atau Cuma gara-gara liat dia di pemakaman Sivia. Hm?” tanya gadis itu mendelik.

Alvin mengangkat kedua bahunya bersamaan, lalu merebahkan dirinya di king-bed-super-nyamannya itu.

Shilla berdecak keras. “jangan sakitin dia!! Awas aja kalau lo mainin dia, kak! Dia itu temen gue!! Dan FYI. Dia paling nggak suka cowok sok kayak kakak. Pokoknya nggak suka model-model kakak gini lah. Sipit, jelek, kejam sama adeknya, kayak kakak pokoknya”

Bughhhh!!

Mendengar celotehan adiknya, kontan Alvin melayangkan sebuah bantal ke arah adiknya. Dan kena!

“sial lo! Tuh kan kejam sama adeknya”

Alvin makin terbahak mendengar racauan adiknya tadi. Ia bangkit dari tidurnya, lalu menghampiri adiknya. “lama lo! All Time Low, Remembering Sunday. C’mon!” ucapnya sembari mengulurkan tangannya.

Shilla melengkungkan garis tipis wajahnya itu. Ia pun menyambut tangan kakaknya, lalu melangkah menuju grand piano merah marun limited edition di pojok ruangan ini.

Di tekannya tuts-tuts piano secara teratur. Mereka berdua memang sering memainkan piano berdua sebelumnya. Namun sejak Shilla ke Bandung, piano itu tak ayal sebuah pajangan yang hanya terkena pembersih debu saat pelayannya membersihkannya.

Terkadang, suara halus Shilla dan Alvin melantunkan lirik lagu All Time low itu.

“...my calling i’m calling at night...”

“...but have you seen this girl...”

Penat, lelah, lenyap sekejap. Sejak kecil, mereka memang bermain piano untuk menghilangkan bad moodbooster itu.

*
Zevana menggebrak meja di sekitar tempat duduknya keras-keras setelah membaca bbm dari salah seorang pengikutnya.

“tu anak nggak bisa di biarin, Ik! Gila aja! gue baru dapet kabar kalau kemaren dia ngebuka-buka tas Alvin. Ih gue kesel tau!!” katanya.

Oik terbelalak. Kemudian menajamkan matanya seketika. “hah? Udah di diemin, eh malah ngelunjak”

Angel pun menimbrung. Tak beda dengan kedua sahabatnya, ia bahkan hampir membanting ponselnya. “Shilla lagi sama Alvin Cakka Ray di depan! Ck! Hari ini aja deh, Ze, Ik!”

*
Sebenarnya hari ini Ify bersamanya. Namun entah kenapa Gabriel masih mengekori bus yang mereka naiki. Untung setelah Shilla mengisyaratkan pemuda itu pergi, ia menurut.

Setelah lenyapnya Gabriel dari pandangan, tiba-tiba Alvin menghampiri keduanya. Disusul Ray dan Cakka. Kembar tiga itu memang tak terpisahkan.

Alvin menarik tangan Ify, cakka pun menarik tangan Shilla. Kini mereka di sela-sela the most wanted boy SHS. Ray, Ify, Alvin, Shilla, lalu Cakka.

Tangan sebelah kiri Shilla bebas. Hanya sebelah kanan yang di cengkram Cakka. Ia menepuk punggung tangan Alvin kemudian.

“kak!!” bentaknya kepada Alvin. Ia tahu. Memberontak kepada Cakka hanya menghabiskan tenaga, emosi jiwa, menguras hati!

Shilla menatap Alvin tajam-tajam. Tepat di manik mata kakaknya. “lepasin kami!” katanya lagi.

Alvin terdiam. Bergeming. Seketiga genggamannya pada Ify dilepaskannya. “lepasin aja.” katanya singkat lalu berlalu. Meninggalkan Cakka dan Ray yang saling tatap.

Pemuda sipit itu sesungguhnya paling tidak bisa ditatap adiknya seperti itu. Tatapan marah. Ia ingin menghindari, namun tetap saja tak bisa.

Cakka dan Ray pun menjadi terdiam. Mematung dibebani fikirannya masing-masing. Kemudian mereka menyusul sahabatnya itu setengah berlari. Apapun fikiran mereka saat itu, yang jelas mereka tahu, ini pasti ada apa-apa.

*
Gadis itu tersenyum miring melihat tanda-tanda kehadiran Shilla di ujung lorong. Ketika Shilla tepat berada di hadapannya, ia makin memiringkan lengkungan di bibirnya itu.

“punya nyali juga ya lo? Haha.”

Shilla berdecak pelan. Di lihatnya arloji di pergelangannya. 12.25. lima menit lagi bel masuk. “gue nggak punya banyak waktu nih. Mau lo-lo pada apa? Pake naro memo segala di meja gue. Duh norak, tau!” ucapnya sembari mengernyit.

Oik kini tertawa sinis. “ck. Gini ya sikap anak baru? Hebat!!”

“lo mau bertiga? Gue belom manggil yang lain nih. Nggak betina banget mainnya keroyokan. Kalo cowok kan jantan tuh. kalo cewek betina dong ya? btw, mau main kekerasan atau adu mulut?” kata Shilla makin kacau.

Sebenarnya nyalinya mulai ciut ketika tahu ruang pramuka yang digunakan sebagai tempat eksekusi ‘the dangerous’ separah ini. Ruang pramuka SHS tak lebih baik dari gudangnya. Kotor, pengap, sempit, tak terurus, mengenaskan.

Kali ini Zevana yang membalas. “lo itu nggak tau siapa kita, kam-pung!”

Tak segan-segan, oik mencengkram bahunya, lalu mendorongnya ke pojok ruangan. Namun Shilla berusaha tetap tenang.

“lo ngerebut Alvin, Cakka, dan Ray dari kita!” ucap Oik tajam. Kemudian ia melayangkan sebuah tamparan yang mendarat manis di pipi Shilla.

Zeze pun menarik rambut panjang Shilla. Kemudian menekan tubuhnya ke lantai. “lo juga blagu! Yang boleh gitu Cuma kami dan Alvin, Cakka, dan Ray!!”

Mereka berdua terus-terusan menyerang Shilla. Gadis itu sudah terkulai lemah. Tak mampu melawan lagi tamparan diterimanya berkali-kali. Rambutnya pun banyak yang rontok di lantai. Kacau!

“nggak mau bunuh gue sekalian?” kata Shilla lirih. Namun matanya masih menyipit.

“haha. Nanti aja bunuh elonya. Lagian, gue lagi nggak bawa pisau atau silet atau yang lainnya gitu.” Tawa Oik dan Zevana membahana ruang sempit itu. Angel sekarang masih di luar. Menjaga-jaga.

Oik menendang kaki panjang Shilla tiba-tiba. “dan satu lagi ya, nona, semoga elo beruntung di sini!”

Mereka lalu berlalu meninggalkan Shilla yang tak bergerak. Dikuncinya pintu ruangan super menjijikkan itu.

Walau samar-samar, Shilla masih menatap pintu itu. Ingin diraihnya. Namun sudah tak mungkin.

“woy!!!!! Bukain!! Ik!!! Oik!!! Bukain!! Please, Ik!!! Zeze!! Anget!! Please!!” teriaknya. Namun tak ada balasan dari luar. Mungkin mereka sudah pergi. Panik! Shilla panik!

Nafasnya mulai terasa berat. Sesak. Bulir peluhnya pun berjatuhan dari pelipisnya.

Diraihnya ponsel dari saku kemejanya. Dicarinya kontak kakaknya. Gotcha!! Namun saat hampir saja tombol hijau ditekannya, Shilla berfikir sejenak.

Menelfon kakaknya mungkin bisa menghindari masalah saat ini. Namun ini terlalu berbahaya. Bisa-bisa penyamarannya terbongkar total.

Shilla membatalkan solusinya tadi. Kemudian ia mencari nama lain di kontaknya. Patton? Tapi the dangerous telah mengenal pemuda hitam manis itu! Namun.. Ah tak apa lah! Toh hanya mereka bertiga.

Dikontaknya Patton Setelah itu.

“nomor yang anda tuju sedang tidak aktif...” Astaga! Patton dimana?

Shilla makin panik. Nafasnya kian memburu. Pengap sungguh keterlaluan di sini.

Siapa lagi yang harus Shilla hubungi? Otaknya harus berfikir cepat kini. Ozy? Dia di Bandung! Acha? Shilla menggeleng seketika. Lalu?

Dia!!

“halo.. hhh.. Yo..” ucapnya terengah-engah.

Rio mengerutkan dahinya. “Shill?? Lo kenapa?? Halo??”

“Yo.. tolong.. hhh... lo ke rumah hhh gue.. bilang sama Patton suruh hhh dia ke sekolah gue hhh sekarang..” nafasnya makin sesak. Shilla memejamkan matanya sejenak. Menahan kesesakan yang dirasakannya kini.

“lo kenapa, Shill?? Okeoke. Patton ya? kenapa nggak gue aja? shill??” ucap Rio makin khawatir. Seketika, ia bangkit. Melupakan lebam tubuhnya yang masih bersarang disana.

“nggak, Yo.. hhh Patton aja please.. gue hhh nggak kuat, Yo.. Tolong.. hhh gue dikunci temen hhh gue di hhh ruang pramuka. Yoo hhh to..”

Rio kini benar-benar panik. Tak lagi terdengar suara gadis itu. Masih belum di putus. Yang terdengar di telinga Rio hanyalah beratnya nafas Shilla disana. “Shill?? Halo?? Shilla! Still there?? Shilla!! Halo!! Lo.. SHILLA!!”

...

0 speeches:

Post a Comment