Wednesday, August 3, 2011

part 15

Ray meringis lalu meninggalkan kedua orang tadi. "haaahh kan, Cakka sama Shilla, Alvin sama Ify, gue?" desisnya pelan.

Sepeninggal Ray, Alvin masih mendribble bolanya. Mengacuhkan keberadaan sosok Gadis berdagu lancip disana -entah disengaja atau tidak. Kesabaran Ify hampir habis. Kekesalan itu hampir membuncah. Sialnya, Alvin mengetahui raut menahan-amarah itu.

Ia menaikkan ujung bibirnya ke atas. "kenapa? Mau ngamuk sama gue?"

Ify melengos. "kakak ngapain nyuruh saya ke sini?"

Alvin belum menjawab. Ia meninggalkan bola basketnya yang masih memantul, lalu meraih tasnya di pinggir lapangan. Ia menarik tangan gadis ini. "lo, pulang sama gue"

Ify ternganga. Tak percaya.

*
Patton mengotak-atik ponsel blackberrynya. Sudah hampir seperempat jam, namun Shilla tak kunjung nampak.

Duk.. Duk..

Patton mengernyit. Ia menengok ke arah pintu penumpangnya. Oh!

'Land Rover lo ssh dicari tau paaaatttt'

Patton cengengesan. Ia baru sadar sesungguhnya Shilla lah yang menunggunya daritadi.

Pemuda manis itu menyuruh sang sepupu untuk segera masuk. Shilla memutar bola matanya. Mengamati sekelilingnya dahulu.

"DUHHHH PATT GUE NYARI-NYARI MOBIL LO KAYA NYARI SEMUT DEH. Hardfull. Ckck."

Patton -lagi-lagi- meringis. "hehe salah siapa nggak ngontak gue."

Shilla makin memajukan bibirnya. Mendengus keras-keras, lalu mengambil gadget canggihnya.

Tak tahu apa yang dilakukannya, Patton hanya memainkan kemudi sembari mengangguk-angguk mengikuti alunan musik yang diputarnya tadi.

Sesekali, ia menoleh ke arah Shilla. Seperti biasa, sok cool, sok tidak peduli, sok mengabaikan. Patton berdecak pelan. "Shill, sejak kapan sih gue kenal sama lo? Nggak usah pake topeng lo di depan gue."

Topeng? Tentu saja. Topeng yang dibuatnya karena pemuda satu itu.

Shilla menghela nafas. "gue... Cuma... Hhh i just make myself stronger than before." Shilla menarik nafasnya lagi. Rasa sesak tiba-tiba hadir diselanya. "since he was leaving me for no reason. Duhhh Patt udah ah kok jadi galau-galauan gini?!" sambungnya lagi.

Patton menyipitkan matanya. "he? Rio? Eh btw, ngapain lo nyuruh gue nganterin ke rumah Rio?"

Shilla tersadar. Rio. Sejenak, ia menceritakan semuanya kepada Patton. Walaupun hanya 'sepertinya' yang ia ceritakan, namun gadis itu yakin. Ini 'pasti'. Bukan 'sepertinya'.

Patton bergeming. "terus kenapa lo pura-pura di sekolah lo? Gue nggak ngerti nih, Shill"

Ha? Tolong! Itu sama sekali tak ada hubungannya dengan kejadian itu. Kenapa Patton tiba-tiba menanyakan hal itu?

"nggak nyambung lo, Pat! Ck gue itu cuma nggak mau dianggap manja lagi. Gue nggak mau bergantung sama tu kakak Alvin tersayang. Gue nggak mau ngulang kejadian itu lagi. Bayangin, Pat!! He shouted me. Call me 'anak manja!' in front of anyone for no reason anymore. Duh gue nggak ngerti jalan fikiran tu anak kok bisa ngatain gue anak manja." Kata Shilla hampir membanting iphonenya.

Patton hampir melepas kemudinya untuk menenangkan sepupunya ini. Untung kemudian gadis itu bisa mengendalikan dirinya. "lo kaya gini cuma gara-gara Rio bilang kaya gitu? Buset! Membekas banget kalau gitu ya, Shill! Haha! Tapi gue nggak percaya. Pasti si tuan putri Panggemanan juga jadi penyebab nih. Ya, kan?" ucap Patton sembari menaikkan sebelah alisnya.

Shilla tersentak seketika. Sebagian tubuhnya langsung menghadap ke Patton. Matanya menajam. "HEH?!"

Patton hanya tersenyum. Tiba-tiba ia teringat pujaan hatinya di sana. Tatapan sok beraninya, tingkah cemburunya. Eh? Pujaan hati?

Patton tertawa miris. Mikir apa sih gue, batinnya lirih.

"Shill, rumah Rio nih. Lo nggak ganti baju dulu? Gue bawain tuh di belakang. Kalau lo mau ganti gue keluar nih." Ucap Patton tanpa sedikitpun menoleh ke arah Shilla.

Gadis itu mengernyit. "emm oke deh. Thanks loh, Pat" Shilla tersenyum tipis.

Patton mengambil ponsel dan ipod nanonya di dashboard. "oke. Kuncinya nih. Gue masuk duluan ya, Shill." Patton setengah berteriak lalu meninggalkan Shilla sendirian.

Shilla hanya mengulurkan ibu jarinya. Gadis itu beranjak ke tempat duduk belakang. Cardigan, t-shirt, short pants, benarkah Patton yang menyiapkan semuanya?

Shilla tertawa pelan. Melengkungkan garis indah di bibirnya. Ia meraih satu 'paket' pakaian tadi, lalu segera menggantikan seragamnya. Diraihnya kunci Land Rover Patton serta tasnya. Gadis itu menarik nafas dalam-dalam. Berlebihan kah ia untuk mendatangi Rio seperti ini? Shilla menggeleng. Tiba-tiba getaran muncul dari dalam tasnya. Patton.

'shill, lu cptn! Rio parah! Untung blm mati. Hehe'

Astaga. Sempat-sempatnya Patton bercanda.
*
Alvin melepas kacamata hitamnya. Lalu kembali fokus kepada jalanan didepan. Macet? Bukankah itu makanan sehari-hari warga Jakarta? Penat? Pasti!

Alvin memiringkan bibirnya. "ck. Coba gue bisa beli ni jalanan."

Ify langsung menatap Alvin. Lalu membuang mukanya seketika.

Alvin kontan tertawa. "lo tuh kenapa sih kayaknya benci banget sama gue? Gue ada salah apa sih sama lo, Fy? Sama Cakka biasa, sama Ray deket, kenapa sama gue gini?"

"kakak nih kenapa sih? Ini kemana lagi kan? Katanya mau pulang?"

Lagi-lagi Alvin tertawa pelan. "elo yakin nggak tau ini dimana?"

Ify menggigit bibirnya. Ia tahu! Sangat tahu! Namun entah kenapa raganya berbohong tiba-tiba. Kepalanya menggeleng pelan. "kak! Saya mau pulang!" Katanya keras.

"ck! Diem! Lo mau gue terjunin ke sungai, ha? Diem!"

Ify kontan membisu. Tuhan, tolong..

*
Pemuda itu tak lebih baik dari kakaknya tadi malam. Terbujur lemah, penuh lebam. Bahkan pemuda itu lebih parah. Itu kelewat miris untuk di saksikan. Patton benar. Untung nggak mati.

Shilla mendekat ke king bed jingga milik Rio. Telaga beningnya menelusuri setiap guratan ungu di tubuh pemuda itu. "kak Alvin ya?" tanyanya sembari menyipitkan matanya.

Pemuda yang sedari tadi tak menyadari adanya sosok Shilla kontan menoleh. "iya.." ucapnya lemah. Namun cukup jelas.

Shilla menghela nafasnya lagi. "Patton mana?" Gadis itu semakin mendekat ke arah Rio.

Rio hanya menggerakkan bahunya. "tadi dia keluar sebentar. Kayaknya ngambil cemilan." kali ini Rio setengah berbisik. Suara serak Rio sekejap hampir hilang. Benar-benar parah!

"jangan kebanyakan ngomong dulu, Yo. Emm gue ambil air sama kain dulu. Hold on."

Shilla beranjak menuju toilet di dalam kamar Rio ini. Untung ada handuk kecil dan tempat airnya. Shilla kembali ke tempat tidur Rio. Mendudukkan dirinya di sebelah kanan pemuda itu. Lalu meletakkan tempat air tadi di atas meja tepat di sebelah tempat tidur Rio.

Segera Shilla mencelupkan handuk putih itu kedalam air, memerasnya, lalu mengusapkannya ke permukaan lebam Rio.

"aww.." ucap Rio pelan. Menahan sakit tentunya.

Gadis itu refleks mengangkat handuknya tadi. "kenapa, Yo?"

Rio hanya memejamkan matanya, lalu berucap lirih. "sakit.."

Shilla kontan terdiam. Menatap pemuda tadi nanar. Lalu mengusap kembali lebam tadi. Kali ini lebih hati-hati. "sorry." ucapnya sembari tersenyum tipis.

Astaga. Senyum meneduhkan itu kembali dilihatnya. Rio merasa lebih tenang. Ia pun membalas senyum tadi.

Gadis itu menghela nafasnya sejenak lalu ia kembali mengusapkan lebam Rio. Satu per satu. Di sentuhnya wajah sempurna Rio dengan tangan kiri, lalu di usapkannya handuknya dengan tangan kanan. Dengan telatennya, Shilla mengobati Rio. Tanpa disadari, ada yang bergetar di dalam tubuhnya. Berdetak pula jantungnya saat itu. Sesungguhnya Shilla ingin memperjauh jaraknya pada Rio saat ini. Agar pemuda itu tak tahu apa yang dirasakannya. Agar pemuda itu tak mendengar kerasnya jantungnya berdetak.

Menepis gejolak hatinya. Hanya itu yang dapat ia lakukan sekarang. Jangan terlihat begini di depan Rio. Hanya itu.

Rio memegang ulu hatinya tiba-tiba. Nafasnya terdengar berat. Shilla yang sedang mengobati lebam di wajah Rio langsung menatap daerah perut yang Rio pegang.

"kenapa yo?" tanyanya agak cemas. "sakit ya? Kak Alvin ngapain aja sih emangnya?!"

Rio masih memegangi ulu hatinya. Mencoba tersenyum pada gadis itu. "nggak papa hhh, Shill. Cuma sakit kok. Hhh."

"sakit doang pala lo! Sini gue liat! Ck gue mah bisa lah kalau masalah lebam-lebam ria gini." kata Shilla sambil mencoba melepas cengkraman Rio pada ulu hatinya. "eh, sorry, gue buka." katanya lagi. Sesungguhnya ia agak segan membuka kancing kemeja Rio seperti ini. Namun Rio memang parah. Parah!

Satu per satu kancing terlepas dari kaitanyya. Sebatas dada, Shilla langsung mengerutkan dahinya. "ya ampun, Yo! Lo tuh cuma berantem sama kak Alvin atau gimana sih?! Ckck. Kayak dikeroyok tau nggak!"

Shilla masih menggelengkan kepalanya. Ini memang parah! Parah!!

"Shill, udah nggak papa. Nanti aja." ucap Rio seketika saat Shilla ingin meraih handuk basah tadi. Pemuda itu mengaitkan telapak tangannya ke pergelangan milik Shilla. Kontan, Shilla menoleh.

"tolong.. Sebentar aja. Jangan di lepas." kata Rio lirih. Shilla menelan ludahnya. Ini maksudnya Rio apa?

Gadis itu masih berada di samping kanan Rio. Duduk sejajar dengan pinggang Rio membuat tatapan pemuda itu tepat menusuk manik matanya.

"Shill? Yo? Lo berdua ngapain? Kok pegangan tangan? EH, YO! LO KOK BUKA BAJU SEGALA? HAYOO KALIAN NGAPAIN??!"

*
Cakka masih memainkan gitar kesayangannya di balkon kamarnya. Alunan gitar hitam bercorak putih itu kelewat enak di dengar. Cakka pun terlarut di dalamnya -sepertinya.

"lemme tell you one time.. I'mma tell you one time.."

Ponselnya berbunyi. Telfon sepertinya. Ia segera beranjak mengambilnya. Ray.

"bro, gue dapet!!" sambar ray tiba-tiba.

Cakka mengernyit. "dapet? Datang bulan, bro?"

"ha! Lo tuh ya! Udah gue bantuin biar deket sama Shilla juga! Ck" kata Ray kemudian.

Cakka makin bingung. "hm? Maksudnya?"

"gue dapet info penting! Ini cara satu-satunya, Cakk!"

"apaan?"

"Gabriel punya sepupu! Kelas sepuluh!! Gue nggak tau sih kelas sepuluh mana. Tapi... Lo ngerti kan, Cakk?"

Cakka memutar bola matanya. Lalu tersenyum miring sejenak. "yoi. Thanks mamen!" ucapnya lalu memutuskan hubungan telfonnya dengan Ray. Gampang! Bisa di atur!

*
Dengan pengetahuan kedokteran Shilla tadi, Rio menjadi lebih baik. Jauh lebih baik dari sebelumnya.

"nggak berarti kalau gue dateng kesini berarti gue maafin elo ya, Yo." kata Shilla sembari mengambil iphonenya.

Rio hanya mendengus. "gue harus ngapain, Shill? Sumpah ya, gue minta maaf banget sama lo."

Shilla tertawa pelan. "duhh udah deh, Yo. Yang penting lo udah mendingan. Gue mau pulang aja deh. Takut dicari kak Alvin. Yuk, Pat!"

Patton masih mengerutkan dahinya. Astaga. Pasti masalah tadi. "Pat? Ayo!!"

Patton masih terus mengerutkan dahinya. Bahkan menyipitkan matanya kini. "lo beneran nggak ngapa-ngapain sepupu gue kan, Yo?"

"engga, Pat!! Udah lah yukkkk" kata Shilla akhirnya. Ia juga menarik-narik tangan Patton.

"ck! Buruaaaann"

*
Alvin menepikan mobilnya jauh dari tempat tujuannya semula. Ini belum saatnya.

"dimana rumah lo? Kita pulang." kata Alvin kemudian.

Pulang? Ify sempat tersentak. "di Manque. Tau nggak?"

Kali ini giliran Alvin yang tersentak. Manque? Sepertinya tak asing..

...

0 speeches:

Post a Comment