Wednesday, August 3, 2011

part 16 b

“Yo, hhh to...”

*
Ify memutar iphonenya di telapak tangannya. Jam terakhir sudah berlalu sejak lima menit yang lalu. Namun Shilla juga belum hadir di sisinya.

Obiet tiba-tiba menghampiri meja Ify. Pemuda itu meletakkan kedua sikunya di meja sejajar dengan gadis itu. Lalu dikaitkannya kesepuluh jarinya disana.

“Fy, sohib lo kemana?” tanyanya kemudian.

Ify menghela nafasnya. Lalu menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Ia hanya menggeleng. “Tadi dia baca sesuatu, langsung ngegebrak meja, terus pergi. Btw, thanks tadi udah bilang dia sakit, Biet.”

Pemuda itu mengangguk. “Yeah, no problemo. Tapi gue feel bad banget nih. Fy, lo cari dia sana!” ucapnya setengah memerintah.

“Mmm biet, punya nomer kak Alvin atau kak Cakka nggak?” tanyanya sembari menggigit bibirnya.

Obiet tersentak seketika. “Buat apa?!”

Gadis itu masih menggigit bibirnya. “Nggak jadi deh. Gue kesana aja.”

*
‘kareyy, gue otw ktmpt lo dkk. Shilla ga ada’

*
Patton memukul dashboard mobilnya. Mengapa jadi sekacau ini, fikirnya. Masih bisakah Shilla bernafas? Masih sadarkah ia? Bagaimana gadis itu?!

Kacau! Kacau! Patton mengacak-acak rambutnya. Sengaja ingin memberhentikan pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi muncul di kepalanya.

“Matilah! Ruangan Pramuka dimana aja gue nggak tau!”

*
Alvin mengernyit, menajamkan matanya kemudian setelah melihat kedatangan gadis itu dengan keadaan yang sedikit berantakan.

Gadis itu langsung menatap ke arah Ray. ”Kak, gimana?” tanyanya sembari mengatur nafasnya yang terengah-engah –karena sedikit berlari tadi.

Gimana?! Gimana apanya?! Batin Alvin makin tak tenang.

Ray menghela nafasnya. “Gue belom ngasih tau mereka, Fy. Gue kira lo bercanda. Bro, Shilla... Nggak ada”

Cakka mengernyit. “Maksudnya?”

“Shilla pergi dari istirahat kedua tadi, kak. Dan sampe sekarang dia belom balik. Gue... Takut dia kenapa-napa. Yahh gue nggak tau juga sih kenapa gue larinya kesini. Hehe.”

Celetukan Ify tadi tak sedikitpun mencairkan suasana. Tak ayal, kedua pemuda itu menahan nafasnya. Berharap ini hanya drama yang dimainkan keduanya.

Alvin yang masih mematung tiba-tiba merasakan adanya getara dari ponselnya. Ia mengerutkan dahinya setelah melihat nama yang muncul disana.

Calling Shilla-

Apa?! Shilla?! Oh bukan.

Calling Shilla’s Patt...

“Halo... Lo disini?! Kok?!... Oke... Lo tunggu aja. Dimana?... Hm... IYA GUE NGGAK-... Oh iya Sorry... Nggak akan... Bye.”

Seketika, Alvin langsung meninggalkan semuanya.

*
Patton memandang sekeliling tempatnya berdiri sekarang. Lorong yang benar-benar sepi, dan... Ruangan laknat itu.

“Lo yakin ni nggak ada orang lain selain kita, kak?” tanyanya agak ragu-ragu.

Alvin menyipitkan matanya. “Kan gue udah bilang, nggak akan.” Katanya kemudian.

Patton hanya menghela nafas. Kemudian menggedor sembari menjeritkan nama sepupunya itu.

“Lo goblok atau gimana sih, Pat?” kata Alvin sembari tertawa pelan. “Minggir. Gue nggak nemu kunci ni ruangan di sekertariat. Kayaknya masih di pelaku.” Katanya sembari bersiap mendobrak ruangan-yang-nggak-banget itu.

Satu.. Dua.. BRAKK!!!

“SHILLAAA!!” Teriak keduanya bersamaan.

*
Alvin, Patton, Rio, dan kedua orang tuanya sedang berada di sekeliling ranjang dimana gadis itu sedang terbaring lemah. Tak sadarkan diri.

Dua hari. Gadis itu bergeming. Tak menunjukkan tanda-tanda akan bangun dari tidur lelapnya. Tak membuka matanya disaat Rio datang dengan paniknya kemarin lusa. Bahkan tak membuka matanya saat orang tuanya tergopoh-gopoh memasuki ruangannya tadi pagi.

“Kak Ozy sama Acha mau dateng, kak, oom, te.” Kata Patton setelah menerima telfon dari kakaknya itu.

Diandra menatap keponakannya itu. “Pat, sebenarnya bagaimana kok Shilla bisa kambuh lagi? Vin, jelaskan sama mama. I need to know everythings, dear.”

Alvin masih duduk di sofa kamar Edelweiss itu. Dan pemuda itu masih menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Sikunya di letakkannya di pahanya. Alvin melepaskan penutup-wajahnya tadi, lalu mengangkat kedua bahunya pelan. “Alvin nggak tahu, ma. Patton di kasih tau Rio, and then he gave me know. Alvin nggak tahu Shilla jadi kayak gininya kenapa.”

Patton mendudukkan dirinya di sebelah Alvin. “Patton juga nggak tau, te. Shilla udah beberapa kali nelfon Patton, tapi pas itu Hpku lagi non aktif. Kayaknya dia langsung nelfon Rio, te.”

“Katanya, dia dikunci di ruang itu sama temennya. Rio juga nggak tau pasti, tan. Suara Shilla udah hampir hilang gitu. Untung dia ngasih tau dia dimana.” Kata Rio menimpali.

Diandra hanya mengangguk. “Mama harus bicara sama kepala yayasan dan kepala sekolah. Ini kekerasan.”

“Maafin Alvin.. Ma.. Al.. Alvin nggak bisa jaga Shilla..” kata Alvin tiba-tiba.

Mamanya hanya tersenyum. Lalu mengelus kepala anak sulungnya itu.

*
Cakka dan Ray kini berada di lapangan basket. Istirahat kedua memang.

Sesungguhnya hanya Cakka yang bermain. Ray hanya menontonnya di pinggir lapangan. 3 on 3. Namun bukan seperti 3 on 3. Ray yakin. Tidak ada peraturan disana. Kasar, Sadis, Kejam!

Pemuda itu hanya menggelengkan kepalanya. Sedikit tidak mengerti dengan sikap sahabatnya itu.

Ia pun memutuskan untuk mengontak sahabatnya –yang lain.

‘Vin, lo knp sih ga masuk? Cakka kacau!’

*
Alvin mengerjapkan matanya setelah membaca bbm Ray tadi. Sepertinya ia memang membutuhkannya kini.

‘lo ke RS Thamrin Utama. Buru. Cabut aja lo. Ga ush bw cakka. Edelweiss 1, Ray’

*
Ray terbelalak kaget melihat keadaan Alvin –yang ternyata lebih kacau dari Cakka. Rambutnya, raut wajahnya, bahkan cara menatapnya bisa menggambarkan keadaannya sekarang.

“Bro, kenapa?” tanya pemuda berambut gondrong itu hati-hati.

Alvin masih diam. Dia hanya berfikir sejenak. Ya. Iya butuh teman untuk mengatasi masalahnya ini. Yang sebenarnya bukan masalahnya juga.

Ray masih menatap Alvin dalam-dalam. “Bro, kenapa? Kenapa gue lo suruh kesini?” tanyanya lagi.

“Lo harus tau.” Kata pemuda-kacau tadi singkat. Ia menarik Ray ke dalam kamar adiknya.

Ray mendelik. Mengernyitkan dahinya. “Adek lo sakit?”

Alvin menghela nafasnya. “Bukan Cuma itu.”

Tiba-tiba Patton membuka pintu kamar Shilla. Tanpa melihat siapa yang ada di dalam, pemuda itu lantas berdesis pelan. “Kak, ada Gabriel!”

Kontan, kedua pemuda tadi menajamkan matanya. Gabriel?!

*
“Dimana tu anak? Cari mati banget dateng ke sini.” Kata Alvin geram.

Patton kemudian menyeringai. “Di sekolahnya kali. Siapa yang bilang dia dateng ke sini? Hahahahaha.”

Alvin menghela nafasnya. “Lo bisa banget bercandanya! Sekali lagi, dapet tonjokan manis dari gue, Pat!”

“Haha piss, man! Gue hanya mencairkan suasana antara lo sama kakak ini. Kayaknya tegang bener. Yaudah gue permisi yak!”

Patton menutup kembali pintu tadi. Setelah menatap kepergian Patton, Alvin kembali memusatkan pandangannya ke arah Ray –yang masih terdiam.

“Gabriel kenal adek lo?”

Pemuda bermata sipit itu menganggukkan kepalanya. “Shilla sepuluh tiga..” katanya lirih kemudian. Hampir tak terdengar.

“Ohiya. Tu anak apa kabar ya. Dua hari nggak masuk. Tapi setau gue dia izin, Vin.” Kata Ray kemudian.

Alvin menghembuskan nafasnya. “Lo mau tau kabarnya? Kayak gini nih.” Katanya sembari menunjuk ranjang adiknya. Yang kelewat pucat wajahnya. Yang dililiti selang-selang medis itu.

Ray mengerutkan dahinya. “Maksudnya?” tanyanya tak mengerti.

“Shilla sepuluh tiga... Adek gue...”

Ray menganga. Tersentak tak percaya.

*
Shilla masih memegangi dadanya yang agak sedikit sesak. Sesungguhnya gadis itu masih kelewat pucat untuk berada di taman rumah sakit ini.

“Jadi gue udah dua hari nggak ngeliat dunia kayak gini? Hhh rasanya gimana coba.” Katanya sembari mengambil kamera nikonnya dari tasnya.

Rio yang berada di sampingnya hanya bisa memandangi wajah tak berdaya Shilla. Sejak lima belas menit yang lalu –Shilla sadar- Rio belum berani menanyakan hal macam-macam dan kompleks kepada gadis ini.

“Btw, yang kemaren makasih ya, Yo. Eh kemaren lusa ya. Duh gue jadi lupa waktu deh.” Ucap gadis itu tanpa menoleh ke arah pemuda tadi.

“Hm. Lo bisa cerita sama gue kalau lo udah siap. Jadi.. Udah mau maafin gue?”

Shilla kontan bergeming. Maaf? Mengapa pemuda itu menyinggung masalah-yang-lalu itu? Mengapa pula Shilla sudah lupa masalah apa itu? Oh iya. Keke.

Gadis itu tersenyum. Lalu memanggil pemuda manis itu untuk mendekatinya.

“Lo mau maaf?” katanya disertai senyum miringnya.

Rio menajamkan matanya, mengerutkan dahinya pula.

“Sini!!” Shilla meletakkan kameranya di pangkuannya. “Ngebungkuk buruan! Gue nggak nyampe. Lo sadar kan gue masih pake kursi roda?” katanya lagi.

Layaknya disihir, Rio menurut.

Shilla mendekatkan wajahnya ke telinga pemuda itu, lalu berkata lirih. “Gue maafin lo”

Rio kontan menoleh ke Arah wajah cantik Shilla. Tak dinyana, permukaan bibir Shilla tak sengaja menyentuh pipi Rio. Mereka sama-sama terdiam. Entah kenapa.

Mata mereka kian beradu. Nafas mereka saling berbaur.

“RIOO SHILLA! KALIAN NGAPAIN?!” teriak Ozy dari ujung koridor. Menyadarkan kedua remaja itu dari alam sebelumnya.

Shilla menunduk. Tak terbayang betapa merah wajahnya kini. Sedangkan Rio? Rio menggaruk-garuk kepalanya yang sesungguhnya tak gatal. Salting? Ya! Pasti!

*
Pengakuan Alvin kemarin lusa masih terngiang di kepala Ray. Jadi...


Ray menganga. Tersentak tak percaya.

“Gue sebenernya nggak ngerti maksud dia kayak gini tu apa. Dia emang nggak mau be a famous kayak gue, kayak lo, hah!” Racau Alvin tak karuan. “Gue nggak tau dia kenapa. Gue nggak tau dia ada masalah apa. Tapi feeling gue, ini kerjaanya tiga pentol korek itu.” Lanjutnya.

Ray mengangguk pelan akhirnya. “Lo bikin gue gila, Vin! Sumpah!”

Alvin meringis. “Gue butuh share ini sama lo juga. Gue lebih gila asal lo tau!”

Keduanya terdiam sejenak. “Ray, gue mau lo...” Alvin menyipitkan matanya sejenak. “Jangan kasih tau Cakka.”

Ray terlihat menghela nafasnya. “Gue kira lo nyuruh gue bikin tu tiga pentol korek teriak, Rayyy imut banget sihh. Eh salah ya. Ya gue kira lo nyuruh gue bales dendam gitu, Vin. Hehe.”

Alvin memiringkan senyumnya kemudian. “Itu urusan gue.”


Bahkan Ray masih mengingat kedua mata sayu Shilla yang baru terbuka itu. Yang –sepertinya- terkejut melihat kehadiran dirinya.

“Mamen! Lo ngelamunin apa sih?” kata Cakka yang tiba-tiba menepuk pundak Ray.

Kontan, pemuda itu terkejut. “Cakkahhhh akuh kira kamuh siapahhh.”

Cakka langsung tersentak. “Ray, please! Eh! Lo udah dapet info apa lagi? Lusa gue ke London School.”

Ray yang langsung mengerti arah pembicaraan melihat sekelilingnya terlebih dahulu. Aman! Pemuda itu mencari sehelai kertas dan pena, lalu menuliskan deretan huruf disana.

“Ini sensitif banget. Nih.” Katanya sembari memberikan kertas tadi ke Cakka.

“Umari? Nama keluarga Sivia.. Jadi? Ini adeknya Sivia?! Ckck. Hebat lo! Gimana cara ngedapetinnya?” puji Cakka.

Ray menyeringai. “Biasa, man!”

Cakka mengernyit kemudian. “Jadi, lo harus jalan sama tu cewek? Kalo nggak suka, nggak usah.” Katanya tanpa ekspresi.

Ray lantas menggeleng. “Nggak pa-pa. Sekali-sekali doang, Cakk.”

“Ck. Namanya siapa?”

“Tu cewek kan? Aren.” Katanya sembari mengunyah permen karet yang tadi dibukanya.

*
Diandra dan Alvin memasuki lorong utama SHS. Alvin yang tidak memakai seragam tentunya.

“Itu mamanya kak Alvin? Asli cantik banget! Emang ya tu keluarga mukanya manis semua. Ckck.” Ucap salah seorang siswa yang melihat kedatangannya.

Masih banyak komentar yang terdengar sepanjang perjalanan mereka berdua. Namun tak satupun ditanggapinya.

Sesampainya mereka di ruang kepala Sekolah, semua bergeming seketika. Tak ada yang menyangka sang pemilik yayasan akan datang sekarang. Kontan, sang kepala sekolah langsung mempersilahkan kedua ‘tamu istimewanya’ duduk.

“Ashilla Zahrantiara, Sepuluh tiga. Bapak tau masalah apa yang akan saya bahas sekarang?” kata Diandra sembari menatap kepala sekolah tajam.

Kepala sekolah sepertinya mendadak pikun. Mendadak bisu. Merasa diperlama, Alvin berdiri. “Ma, Alvin keluar sebentar. Lama banget kayaknya ya?” ucapnya lalu berlalu meninggalkan mamanya dan kepala sekolah disana.

Diandra kembali mengulangi pertanyaannya. “Apa bapak tau?!”

*
Hilangnya kabar tentang Shilla mencuatkan berbagai pertanyaan di kepala Ify. Sudah empat hari. Itu kelewat lama bagi Ify untuk tidak menemui sahabatnya itu.

“Shilla udah sadar.” Kata seseorang seakan bisa membaca fikiran gadis itu.

Ify masih diam. Siapa sih?

“Gue Alvin.” Katanya lagi.

Ify kini mengerutkan dahinya. Dia bisa baca fikiran gue?!

“Nggak usah khawatirin Shilla.” Alvin kini mendudukkan dirinya di sebelah Ify.

Gadis itu pun menghela nafasnya. Ternyata nggak baca fikiran gue.

“Diajak ngomong malah diem aja.”

Ify mendengus. “Terus mau kakak saya ngomong apa?” Gadis itu –berpura-pura- berfikir. “Oh! Gini. Kok kakak nggak pake seragam sih? Kena sanksi mampus loh kak. Biasanya pak Harun nyuruh hormat sampe pulang. Eh tapi kalo buat kakak istimewa kayaknya. Mungkin disuruh hormat sampe besok. Kakak kan udah sering ngelanggar peraturan. Mmm udah kan kak? Saya udah ngomong loh ya.”

Alvin memiringkan lengkungan manis di bibirnya. “Gue suka mulut lo. Walaupun nggak manis, tapi apa adanya. Gue nyusul nyokap dulu deh, Fy. Jangan ngelamun di sini. Kalo kesambet, gue nggak tanggung jawab” katanya lalu pergi meninggalkannya.

Ify masih terus memajukan bibirnya beberapa senti. Masih terus menggerutu pula. Tu anak ajaib banget sih.

*
Shilla, Patton, Rio, Ozy, dan Acha telah sampai di istana keluarga Shindunata. Sebenarnya, Shilla tak ingin merepotkan mereka semua. “Gue udah kayak mau kawin aja nih. Yang nganter banyak banget.” Katanya sebelum meninggalkan rumah sakit.

Setelah turunnya barang-barang dari mobil Patton, Shilla segera menyuruh Ozy dan Acha kembali ke Bandung. Namun tepat disaat dirinya berbalik menghadap mereka berdua, Shilla terpaku sejenak. Ia menyipitkan matanya. Cagiva hitam itu...

...

6 speeches:

Reiditta Salsabilla said...

lanjut yaa.. ditunggu:)

Unknown said...

Lanjutin dong.. Ceritanya keren :')

Unknown said...

Lanjutin dong cerita nya. Seru bgt loh

Unknown said...

Lanjutin please ceritanya

Alfya syaqiroh said...

kak gc ada lanjutannya.ini bgus loch cerbungnyA😊

Unknown said...

Ditunggu lanjutannya

Post a Comment