Wednesday, August 3, 2011

part 13

Gabriel masih menatap ukiran Tuhan yang sedang menutup pintu jazz ungu tadi. Bibirnya melengkung tipis sejenak. Jadi Shilla adiknya Alvin? Gabriel mengangguk sinis.

Ia merombak rencana awalnya. Ini bukan sekedar balas dendam dan masalah hati. Ini terkait pada sepupu tersayangnya. Sivia.

Alvin. Satu nama itu yang sesungguhnya mengaitkan segalanya. Alvin, Sivia, Cakka, dan kini Shilla.

Astaga. Mengapa menjadi serumit ini?

Gabriel meninggalkan area sekolah lawannya itu. Ia menghidupkan mesin cagivanya lalu beranjak dari sana.

Shilla mengernyit. Merasa ada yang mengikutinya. Namun buru-buru ia sanggahkan fikiran negatif itu. Ia pun beranjak dari tempat itu.

*
"gagal, Ke. Maaf gue ga bisa ngelawan Alvin. Dia bahaya" ucap seseorang diseberang sambungan telfonnya.

Keke mengerjap lalu menggertakkan gerahamnya. "gue-bayar-elo-untuk-ngepublish-Rio-dan-Shilla. Kenapa gagal? Dasar ga becus!" serapahnya kepada pemuda 20 tahunan itu.

"Ke! Elo sopan dikit bisa? Gue tau bokap gue bawahan bokap lo! Hargain gue dikit napa!" ya. Pemuda itu -tentu saja- minta dihargai. Hanya itu. Namun sepertinya tuan putri Panggemanan tak suka memberikan sikap 'menghargainya' padanya.

"hell terserah. Gue mau elo buat Shilla jadi benci sama Rio. Gue ga mau tau, Dev"

Deva -pemuda itu- geram. Mengapa si tuan putri satu ini begitu egois? Ia hanya menghela nafasnya. "bukannya mereka memang saling benci?"

"ralat. Shilla yang benci Rio. Bukan saling benci. Got it, Dev? I think a smart guy like you understand with everythings that i've said"

Deva hanya mendengus. Tak mampu menolak titah Keke ini. "yeah. Gue usahaain. Tapi gue ga tanggung konsekuensinya. Kalau ketahuan, gue akan limpahin kesalahan itu ke elo"

"oh yea. Whatever"

Keke menekan tombol merah di blackberrynya. Lalu menduduki sebuah bangku sembari memainkan gadget canggihnya ditanggannya.

"oh. Jadi gara-gara elo, Ke? Oh" kata seseorang yang ternyata bersandar pada dinding dibalik gadis itu duduk sekarang.

"Pat.........."

Cowok manis itu tersenyum meneduhkan. Seperti biasanya. Lalu menghela nafasnya pelan. "licik abis" ucapnya singkat sembari menggelengkan kepalanya.

Keke langsung menoleh ke sumber suara tadi. "Pat, udah deh. Lo gatau apa-apa"

Patton mengernyit. "gue tau kok. Elo yang buat gosip murahan itu kan, Ke? Rio, Shilla, dan kak Alvin harus tau nih kayanya"

"gitu? Ganyangka lo pengadu" ucap Keke sembari menyunggingkan senyum sinisnya.

"bukannya gitu ya, Ke. Yah terserah elo sih sebenernya. Gue ga rugi kok. Mau ngasihtau atau engga" Patton mengeluarkan blackberry dari saku celananya. "dan, fyi. Gue mau ke Jakarta juga"

Patton kini benar-benar meninggalkan gadis mungil itu dalam ketakutannya. Walaupun tak ada nada mengancam sedikit pun, mata Patton seakan berbicara siap-siap-di-benci-Rio-ya-Ke. Sesungguhnya ia yakin, Patton bukan tipikal orang seperti itu. Namun yang sedang berurusan dengannya kelewat dekat dengan Patton. Jadi, Keke hanya berharap pada Patton kini.

'tunda rencana. Mulai lusa aja lo. Ada trouble kecil, Dev'

*
Shilla menderu jazz ungunya melewati lautan kendaraan. Ia masih merasa ada yang mengikutinya dari belakang.

Gadis itu mencoba untuk tidak peduli. Ia menginjak pedal gasnya lebih dalam lagi. Berharap 'seseorang' dibelakangnya menyerah dan berpisah jalan dengannya.

"ASHILLA ZAHRANTIARA SINDHUNATA, KELUAR LO!" teriaknya sembari menggedor-gedor kaca mobil Shilla dari samping. Sempat terkejut karena sang 'penggedor' masih mengendarai cagiva hitamnya.

Ia memberhentikan cagivanya tepat di depan mobil Shilla.

Mau-tak-mau, ia keluar dari mobilnya -dengan perasaan super takut-. Dia memanggilnya apa tadi? Ashilla Zahrantiara Sindhunata? Berarti....

"gausah takut, Shill. Gue Gabriel doang kok" katanya sembari membuka helm fullfacenya.

Astaga. Berarti...

"Ga...Gabriel... Elo..."

Gabriel menguntaikan senyumannya pada gadis ini. "udah aahh. Biasa aja ngeliatin guenya"

Shilla mengernyit. "lo kok...."

"ga inget? Dulu pas di Malang lo sama siapa? Ha? Sama Rio kan? Lo kira gue ga inget?" katanya tajam.

Shilla diam membisu. Tak mampu berkata apapun.

Gabriel mendekat. Tangannya dimasukkan ke saku celana London Schoolnya. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Shilla yang sedari tadi kian menunduk.

Ia berdesah pelan. "bisa liat gue, Ashilla Sindhunata?"

Shilla mengangkat kepalanya. Sedikit terkejut melihat telaga bening milik Gabriel yang menatapnya lekat-lekat sekarang. Jantungnya -kembali- berdetak diatas normal.

Ia menghela nafas pelan. "jangan ngeliatin gue kaya gitu"

Gabriel tertawa pelan. "ga ada yang tahan sama pesona gue loh. Elo juga, kan?"

Shilla mendengus lalu mendorong tubuh Gabriel agar menjauhinya. Dan sesungguhnya, ia tak ingin Gabriel menyadari debaran diatas normal itu.

"udah ah Gab. Apasih loo" ucapnya sembari memajukan bibirnya.

"mau pulang, nona Sindhunata?" Gabriel berlutut sembari mengulurkan tangannya.

Astaga! De javu!

Shilla buru-buru menyuruh Gabriel berdiri. Takut paparazzi itu datang lagi.

"Gaaabb, udah!!! Jangan panggil gue gitu dong. Dan... Gue kan bawa mobil. Gue pulang sendiri aja" tolaknya.

"okay, i'll follow you. I behind you, Shill" Gabriel menuju cagivanya, lalu memasang helmnya.

Shilla masih mengerutkan dahinya. Tak apa lah, fikirnya.

*
"pertama, elo brengsek"

Buggghh!! Sebuah kepalan Alvin melayang ke ulu hati Rio. Rio kontan terhuyung. Rio masih meringis memegangi perutnya.

"kedua, elo nelantarin dia"

Buggghhh!!! Kali ini tinjuan Alvin melayang tiba-tiba dan mendarat telak di dada Rio. Rio langsung terpelanting dan mengerang seketika.

"ketiga, elo buat dia susah"

Buggghhh!!!

Alvin kalut. Tak terkendali. Hujamannya membabi buta.

Ia mendorong tubuh Rio sehingga makin terjembap di tanah. Rio memang tak ingin melawan, terhuyung dan jatuh terjembap dengan tubuh penuh memar, muka lebam, dan bibir pecah yang mengalirkan darah. Matanya berkunang hebatm membuatnya terpaksa memejamkan mata rapat-rapat.

Ia memang salah. Tak seharusnya ini semua terjadi. Shilla, harusnya tak diperlakukan seperti itu.

Mata Rio terbuka saat sesuatu yang hangat menetes di pelipisnya. Dia tertegun. Alvin, yang membungkuk di atasnya, menangis tanpa suara. Ketika Alvin bicara, getar lirih suaranya semakin menyayat perasaan bersalah Rio.

"dia adek kesayangan gue, Yo. Gue yang jaga dia dari kecil. Setiap hari kami berangkat dan pulang sekolah bareng. Setiap hari!!! Gue yang dia cari setiap dia ketakutan! Gue yang dia cari setiap dia sedih! Dan dia... Tiba-tiba pingin ke Bandung. Katanya, karena ada elo! Karena elo!"

Rio menelan ludah yang bercampur darah. "gue... Gatau.. Kak..." desisnya dengan suara tersangkut di tenggorokkan.

"oh ya?" mata berkabut Alvin menyipit. Kedua tangannya yang bertumpu di atas tanah dan mengurung Rio dalam rentangan, terangkat dan mencengkram kedua bahu Rio. Menekannya kuat-kuat hingga Rio menahan sakit manakala batu-batu di permukaan tanah itu menusuk kulit. Dan ia makin menyeringai lagi saat lutut Alvin menekan dadanya kuat-kuat.

"apa maksud lo?" lanjut Alvin sambil menunduk. "ngga tau? Ngga tau perasaan cewek? Ngga tau pengorbanan dia? Elo tau dia suka sama lo, kan? Elo tau kalo dia nyesek pas elo mengabaikan dia, kan? Lagian, kenapa harus dia? Kenapa harus adek gue? Kenapa bukan yang lain? Yang naksir lo kan banyak!!" rentetan kalimat itu diteriakkan Alvin dalam jarak sepuluh senti dari wajah Rio.

Rio sesungguhnya tak pernah berlaku demikian. Ia termasuk kategori pandai dan disayangi guru karena kesopanannya. Tapi keseluruhan citra yang Rio torehkan tertepis habis oleh kelakuannya pada Shilla. Walaupun hanya segelintir yang tahu.

Dan Alvin bukanlah cowok idiot, yang diam saja dikala adiknya menangis. Yang menerima saat adiknya diperlakukan tak baik.

Dan Alvin makin menyayangkan begitu menerima pesan Ozy tempo hari. Begitu menyesakkan pasti untuk Shilla.

"gue sayang dia" Rio tiba-tiba berkata.

"heh!" seketika Alvin menampar pipi Rio. Pemuda itu menyeringai menahan sakit. "elo lagi ngomong sama gue, Yo. Bukan sama cewek! Sayang? Bajingan! Ckck"

"kak, gue lagi berusaha berubah!"

"oh ya?"

"kak..."

"jangan banyak ngomong!" Alvin meninju tubuh babak belur yang terbaring dibawah tekanan lutut dan dua lengannya itu. "ini bukan lagi giliran lo bikin pembelaan, tau!"

Rio terbatuk. Nafasnya terengah. Rasa sakit dan tekanan lutut Alvin di dadanya membuatnya sulit bernafas.

Kedua pasang telaga bening menghanyutkan itu saling tatap. Menghujam lurus. Alvin dengan kekalutannya dan kesedihannya, dan Rio, dengan penyesalan dan permohonan maafnya.

"gue nyesel, kak... Gue bener-bener nyesel"

Suara seraknya begitu lirih, hampir hilang. Sepasang mata itu lalu terpejam dan mengalirkan air. Alvin menatap sampai tetes-tetes air itu hilang di antara tanah-tanah disekitarnya.

Kemarahan ini ditekannya. Emosi itu terbawa sampai ke alam bawah sadar. Tapi Alvin juga tahu. Ia takkan pernah bisa merubah yang sudah terjadi.

"elo nyesel, terus ngejer Shilla. Tapi kenyataannya? Elo masih buat dia hampir nangis gara-gara si Keke Keke lo itu. Gitu?" Alvin semakin menunduk.

Rio terdiam. "jangan mati dulu, jawab pertanyaan gue!" lutut Alvin semakin menekan dada Rio. Rio mengerang.

"kak, sakit..."

"oh. Lo mau ga sakit? Jawab pertanyaan gue!"

"gue bener-bener nyesel, kak"

"gitu?" Alvin mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "kalo mau berubah, jangan pernah buat dia kaya kemaren-kemaren!" Alvin menepuk pipi lebam Rio.

"GUE SAYANG DIA KAAAKKK!!!!" teriak Rio menggelegar. Memantulkan gemuruh gema. Dicengkramnya pergelangan tangan Alvin yang selama ini menekan bahunya, dan didorongnya pemuda itu sekuat tenaga.

"GUE SAYANG DIA!! GUE SAYANG DIA!! GUE SAYANG DIA!!!!!" teriaknya kalap. Dipukulnya Alvin bertubi-tubi, dan baru berhenti ketika pemuda itu terkapar. Kemudian Rio menghampirinya perlahan.

"gue sayang dia, kak" ucap Rio lirih.

Alvin menatapnya. Perlahan alvin bangkit berdiri. Lalu mendekatkan diri hingga jaraknya dengan Rio tinggal beberapa senti.

"sayang? Okelah elo sayang dia. Gue cincang elo pun ga ada gunanya sekarang. Yang gue heran, kenapa lo baru ngejer dia sekarang. Baru sadar? Ha?"

Rio tak menjawab. Ia masih meringis kesakitan.

"Yo.." lanjut Alvin lirih tapi tajam. "elo ga tau kalo gue, sayang banget sama dia. Lo gatau. Gue ga mau dia sakit. Gue ga mau dia kenapa-kenapa. Lo ga tau nyokap gue kadang-kadang nangis karena kangen Shilla yang lagi di Bandung. Lo ga tau dia itu pernah cerita tentang lo sampe ga tidur seharian. Dan ternyata lonya gini"

"maaf" lirih Rio.

Alvin menggelengkan kepalanya. "maaf? Gampang banget"

Alvin menatap sekujur tubuh Rio yang penuh lebam.

"mana yang sakit?" tanyanya. Kening Rio mengerut. Dan meskipun dia heran dengan pertanyaan itu, tanpa curiga ia menunjuk ulu hatinya. Alvin tersenyum tipis.

"kalo gitu, sorry!" dihantamnya ulu hati Rio dengan satu pukulan keras. Tak ayal, Rio terjembap dengan suara erangan yang tersedak di kerongkongan.

"kak!!" Rio buru-buru mencekal pergelangan kaki Alvin ketika pemuda itu bersiap pergi. "jangan kasihtau nyokap gue"

Alvin tertegun. Sedetik kemudian, ia tidak peduli.

"ga akan. Buat apa gue ngasihtau nyokap lo? Nyari masalah banget. Gue mau pulang. Elo tidur aja disini" ditepuknya pipi Rio. "tar gue panggil ambulans!"

Alvin pergi. Meninggalkan Rio terkapar. Rio mencoba bangunm tapi pening hebat di kepala, juga rasa nyeri luka-lukanya, membuatnya menghentikan usahanya. Akhirnya, ia tergolek pasrah. Dan juga masih sedikit berfikir, sebegitu sayangnyakah Alvin kepada Shilla? Memang. Hanya Shilla lah yang Alvin miliki sekarang. Ia hanya tak ingin Shilla seperti Sivia. Ia tak ingin Shilla terluka. Hanya itu. Ia kelewat sayang kepada Shilla.

*
Cakka mengendarai ninjanya tanpa mementingkan rambu-rambu disepanjang jalanan. Cakka masih tertegun. Hatinya dan otaknya tak sependapat.

"ga mungkin itu Shilla. Dari kasat matapun itu bukan Shilla" desisnya tak terdengar karena kebisingan jalanan.

Cakka terus menderu motornya. Entah sampai mana.

*
16.30.

"Gab, mau masuk?"

Gabriel mengernyit. Ini rumah Alvin?

Halaman-super-luas menyambutnya senang hati. Jalanan setengah lingkaran dengan berhias bonsai di sekelilingnya sungguh sedap dipandang. Ditengah-tengah halaman, terdapat sebuah taman air yang meneduhkan.

Gabriel menghela nafasnya. "gede banget rumah lo, Shill" ucapnya kelewat jujur yang kontan membuat Shilla tertawa.

"ih biasa aja kenapa? Rumah lo kan gede juga, Gab"

Gabriel meneguk ludahnya. Ya. Rumahnya memang besar. Namun tak sebesar ini. Bangunan utama dihadapannya terhampar kokoh dan menjulang tinggi. Perkiraan Gabriel, ini pasti 4-5 lantai.

"SHILLAAAAA!! Gue disini lohh hehehe" kata seseorang tiba-tiba.

Shilla mengerutkan dahinya lalu menengok ke arah sumber suara tadi. "Patton? Yeheee elo disini sampe kapan??" katanya sembari melingkarkan tangannya ke pundak Patton.

"sampe PH ga libur lagi. Kan pada mau latihan ujian. Makanya kak Ozy balik ke Bandung tadi siang. Terus gantinya gue ke sini dehh hehehe"

Ozy sudah pulang? Oh. Shilla mengangguk pelan.

Gabriel berdehem keras. Merasa dirinya di acuhkan.

"eee iya. Ini Gabriel, Pat. Eh Gab, ini Patton. Sepupu gue"

Setelah berjabat tangan, Gabriel melirik jam tangannya. "Shill, gue pulang aja deh. Kapan-kapan ngobrolnya yaa"

Shilla hanya mengangguk dan menatapi punggung Gabriel itu.

"Pattt, kangeeeennnn"

*
"Vi, sebenernya siapa sih cewek yang sering ke sini? Siapa lo?" tanya Alvin sembari mengusap pusara Sivia pelan.

Ia menghela nafasnya. "pasti heran ya? Kenapa gue babak belur gini? Hehe biasa, abis eksekusi membela adek tercinta" Alvin menggaruk belakang telinganya.

Raja Siang hampir terbenam. Seakan tak ingin meninggalkan bumi, ia menghiaskan cakrawala dengan guratan jingga. Raja malam hampir tampak. Seperti mengusir telak-telak.

"Vi, gue kangen liat sunset bareng lo" desahnya pelan. Super pelan.

Matahari dan Bulan. Tak pernah bertemu. Namun tak bisa terjaga apabila salah satu tiada.

"Vi, je t'aime. I miss you. Really miss you. Love you. Take care, Vi"

Alvin melangkah ke teriosnya. Lalu menderunya pelan-pelan. Sesungguhnya, ia tak ingin adiknya histeris melihatnya 'babak belur' begini.

*
Gadis itu melirik sepupunya yang sedang asik dengan pspnya. "lo suka Shilla juga, kak?"

Gabriel mendangak. "hm" ucapnya singkat.

"kayaknya, kak Alvin dan kak Cakka juga suka sama dia" kata gadis itu kemudian.

"masih aja panggil Cakka dan Alvin kak dirumah. Ckck"

Gadis itu mengerjap. "emm takut kelepasan manggil Cakka doang atau Alvin doang disekolah"

Gabriel tersenyum simpul. "oke. Dimaafkan. Hm.. Alvin ngga mungkin. Rival gue cuma Cakka, dan... Rio mungkin"

Alvin ga mungkin? Gadis itu mengernyit. "kenapa kak Alvin eee Alvin ga mungkin?"

Gabriel tak menjawab. Ia hanya tersenyum lalu kembali fokus ke pspnya.

...

0 speeches:

Post a Comment