Sunday, August 21, 2011

Shilla dalam Elegi

Dengan sendu ditatapnya lekat seakan tak mau menghilang dari pelupuk mata serta memorynya. Semua begitu berharga `tuk dilupa dan dibuang begitu saja. Dia mulai sesenggukan, air matanya terus saja mengalir seperti aliran sungai kecil. "gue benci sama lo, arrgsh."

PRANG

Dengan penuh marahan dia melempar bingkai foto, yang ia pandang sejak tadi.

Gadis itu tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Namun ia yakin. Sang-pemuda-di-dalam-foto itu pasti mempunyai alasan mengapa sampai separah ini akibatnya.

"Lo nggak tau yang sebenarnya, kak. Tapi nggak papa. Dengan ini, lo nggak perlu repot-repot ngelupain gue nantinya."

Gadis manis tadi keluar dari kamarnya. Kamar yang akan ditinggalkannya. Kemudian ia mengerjap. Mencari keberadaan sang kakak yang hilang entah kemana. Mungkin sedang bersama kekasihnya.

Shilla -gadis itu- pun memasukkan barang-barang yang akan dibawanya.

"Shill, udah siap?" tanya Alvin, kakaknya.

Shilla menghela nafasnya pelan. Lalu mengangguk tipis.

Alvin mengernyit sejenak. "Lo nangis?" katanya. Mungkin terheran melihat mata-panda adiknya.

Shilla masih diam. Ia hanya menggigit bibirnya.

"Bukannya itu mau lo? Dia mutusin lo. Hm?"

"Iya, kak. Tapi gue nggak nyangka. Ternyata sesakit ini." katanya yang disambut helaan nafas kemudian.

Alvin menepuk pelan pundak adiknya, lalu tersenyum samar.
"lo musti yakin kalo bisa, ini baru awal. Lo harus tenang, dan kalahkan rasa sakit. Gue yakin lo bisa." ujar sang kakak yang mencoba memberi semangat, ia juga tak tega melihat adikny sedih seperti itu.

"tapi susah kak. . ." regek shilla lagi.

"semua butuh waktu Shilla, ya sudah yuk kita berangkat sekarang." ajak sng kk yg diangguki oleh shilla. Mereka meraih koper masing" lalu beranjak dari sana.

*
Shilla memutar lensa standar canon 500Dnya. Mencari objek yang memiliki keindahan setelah diolah dengan fokus dan modenya.

"Lo habis nangis ya?" tanya seseorang tiba-tiba. Suara bariton yang begitu dikenalnya.

Shilla menoleh ke arah pemuda itu. "Sotoy lo, Yo."

Pemuda itu tertawa pelan. "Nggak usah bohong, Shill."

Shilla masih meletakkan sebelah matanya di viewfinder slrnya itu. "Jadi inget pertama kali gue ketemu lo." katanya pelan.

Ya. Dia Rio. Mario. Salah satu pasien gagal ginjal di Rumah Sakit tempat Shilla tinggal saat ini. Tempat tinggal? Bukan apa-apa. Ini adalah Rumah Sakit yang dimiliki oleh kekasih kakaknya. Ia hanya diminta untuk menyadarkan beberapa pasien yang terlalu putus asa akan penyakitnya. Terlalu merana atas keadaannya.

Rio dulu begitu. Sepertinya lebih baik mati adalah semboyannya saat itu. Namun kemudian Shilla datang, dan merubah semuanya. Walaupun kala itu reaksi yang diberikan pemuda itu masih berupa penolakan, namun lambat laun, ia pasti melunak.

Dan Shilla memanglah bukan gadis yang mudah putus asa. Ia selalu memotivasi pemuda itu, hingga akhirnya besi itu meleleh. Meleleh ditangannya.

*
Alvin menoleh ke arah adiknya. Ia sudah lebih baik. Dan semoga segalanya akan baik-baik saja.

Sebagai kakak satu-satunya, pemuda itu sesungguhnya tak tega apabila meninggalkan adiknya sendiri disini.

"Vin, kamu juga mau disini? Nemenin Shilla?" tanya Rara.

Alvin mengangguk pelan. "Dia masih 14 tahun. Aku nggak tega, Fy. Nggak papa kan?"

Ify mengangguk. Tentu saja tak apa. "Rumah gimana?"

"Ada yang jaga. Lagipula aku disini ga bakal lama, mungkin.. Sampai Shilla nyerah atas semuanya.."

*
‎"gue permisi dulu Yo." pamitnya tanpa menunggu balasan sang lawan bicara, ia melangkahkan kaki pelan. Bukannya dia menghindar, tapi dia tak berlama-lama dengan orang yang telah menorehkan tinta warna-warni dihatinya. Terlalu sulit dan cepat, ia masih membutuhkan waktu untuk bertatap muka dg pemuda itu.

Rio hanya melihat punggung shilla yang perlahan menjauh, tangan mengepal menahan sesuatu dan seakan sudah mencapai klimaks. Ia berlari dg cepat untuk dapat meraih gadis yg ada didepannya.

'HUP'

ia memeluk erat tubuh kecil itu dari belakang, ia menyandarkan kepalanya dibahu shilla, dan semakin erat.

Shilla pasrah dan diam mematung, tak byk perlawan yg ia keluarkan. Karna sesungguhnya ia juga merindukan pelukkan hangat dari pemuda itu. Shilla menutup matanya, merasakan kehangatan yang tlah menjalar keseluruh tubuhnya.

'kenapa musti kayak gini, gue ga sanggup.' keluhnya dalam hati.

*
Shilla memasuki kamarnya. Lalu memandang sekeliling tembok putih pucat khas rumah sakit itu.

Tiba-tiba ada sebuah figura yang menarik pandangannya. Fotonya bersama... Cakka!

Astaga mengapa masih ada disana?!

Shilla tertawa miris. "Ngapain gue inget elo. Elo aja udah lupa kali sama gue. Hahaha." ia mulai meracau. "Gue kangen lo, Kkaa.." lanjutnya kemudian. Nadanya menjadi minor. Penuh dengan elegi.

"Rio itu bukan siapa-siapa, Kka! Kamu nggak percaya sama aku?"

Begitulah. Mengapa Shilla dan Cakka berakhir. Konyol. Bodoh. Hanya karena satu kata itu. Cemburu.

"Gue nggak peduli. Kita putus. See?"

Shilla mengacak-ajak rambutnya. Memukul pinggir ranjangnya. Mengapa kejadian itu diingatnya lagi? Ah. Sudahlah.

*
Rio. Pelukannya yang begitu menenangkan, dekapannya yang begitu hangat, apakah ia salah mengatakan bahwa Rio itu bukan siapa-siapa? Tapi.. Toh selama ini memang Rio hanyalah seorang sahabat. Tapi.. Apakah benar kata Cakka? Rio lah penyebab semuanya?

Shilla tidak tahu. Ia masih belum dapat membaca hatinya. Ia sayang Cakka. Namun.. Entahlah!!

*
"Vin, kata papa Shilla bentar lagi.. Mmm kamu tau kan? Hhh" kata Ify.

Alvin mengernyit. Lalu meletakkan kedua tangannya di kepalanya. "Udah parah ya, Fy? Berapa hari lagi?"

Ify menghela nafasnya pelan. "Seminggu kurang lebih. Vin, jujur, aku nggak siap kalo dia..."

Pemuda itu menggeleng pelan. "Shilla itu kuat. Dan kita juga harus kuat."

*
Tiga hari berselang. Tak ada perubahan dalam diri Shilla. Ia tetaplah gadis manis yang ceria.

Alvin sedikit lega. Masih ada kesempatan, fikirnya.

"Kakak kenapa sih?" tanya Shilla yang tiba-tiba muncul disisi kanan Alvin.

Pemuda itu tersenyum tipis sembari menggelengkan kepalanya. Tak mengeluarkan suara beningnya sedikitpun.

Shilla mengernyit. "Vonis itu ya?" katanya telak. Sangat telak.

"Gue nggak percaya, Shill. Papanya Ify cuma dokter, bukan tuhan. Tapi.. Gue takut kehilangan lo." katanya melemah.

"Nggak, kak. Gue bakal selalu ada buat lo. Kan harusnya lo seneng. Nggak ada lagi Shilla yang manjanya minta ampun. Nggak ada lagi Shi..."

Alvin membekap mulut adiknya tiba-tiba. "Tolong jangan bilang gitu. Lo tuh masih aja sempet basa-basi."


*
Di hari keempatnya, Shilla tiba-tiba mendatangi Ify yang kebetulan sedang bersama Alvin. Gadis itu memainkan iphone ditangannya sejenak.

"Kenapa, Shill? Ada apa?" tanya Ify akhirnya.

Shilla masih menggigiti bibirnya. "Mmm, kak, aku keluar boleh nggak? Mmm mau... Ke... Rumah Cakka..." katanya sembari menunduk.

Keduanya tercengang seketika. Alvin mengernyit. "Ngapain?!" nada suaranya meninggi.

"Just wanna tell him that... I'll leave him for.. Forever."

*
Shilla kini berada di depan sebuah rumah bernuansa klasik bertembok kuning muda. Ia menekan bel yang berada di sebelah gerbang itu.

Satu menit.. Dua menit.. Lima menit.. Tak ada jawaban.

Gadis itu pun kemudian memutuskan untuk masuk-tanpa-permisi. "Loh. Pintunya kebuka." katanya sembari mengernyit.

"LO NGAPAIN KESINI?!" Kata Cakka tiba-tiba. "Ck. Cowok baru lo nggak ngajarin sopan santun ya?" lanjutnya lagi.

Dibentak.. Shilla paling tidak bisa dibentak.

Sesak. Berat. Nafas Shilla tak terkendali lagi. "Cakk.. Hhh.. Cakka.. Aku cuma hhh mau kamu tau.." kata Shilla sembari memegangi dadanya.

"Apa sih? Lo udah jadian sama si siapa itu? Ha? Ri.. Ah jelek banget namanya. Gue sampe lupa."

Gadis itu menggeleng. "Kka.. Hhh.. Mungkin ini terakhir kalinya aku hhh bisa ngomong ke kamu. Aku hhh aku mau pergi. Hhh jauh dari kamu.."

Pemuda itu masih terlihat santai. "Perginya sama si Ri.. Aduh siapa sih namanya?"

Shilla berdecak pelan. Dadanya makin sakit. "Kka.. Makasih atas semuanya.. Hhh aku cuma hhh mau bilang itu.." katanya sembari berbalik dan menjauhi pemuda itu. Namun, semuanya menjadi gelap tiba-tiba. Lalu terang seketika.

*
Panik? Itulah Cakka sekarang. Di datangi secara tiba-tiba, lalu di tinggali dengan kejutan pahit yang Shilla berikan. Ia tak tahu apa-apa. Sungguh.

Pemuda itu kemudian menoleh ke arah suara bising yang berasal dari ruangan dimana Shilla di tangani. Jantungnya berdetak kencang. Sesungguhnya, ia takut apabila terjadi sesuatu yang tak diinginkan dengan gadis itu. Namun egonya berkata lain.

Alvin dan Ify kemudian keluar dari ruangan itu. Tak ada tangisan yang muncul. Tapi tak ada pula kebahagiaan yang terpancar disana.

"Shilla koma." kata Alvin singkat ketika melewati Cakka.

"Dia sebenernya kenapa?" tanyanya tanpa ekspresi.

Alvin mengernyit kemudian. "Lo nggak tau? Ck."

Cakka makin tak mengerti. Ia kira Alvin akan melanjutkan kata-katanya. Namun ternyata tidak. Kebingungan dan ke-tidak-mengertian makin erat memeluknya. Merengkuhnya tanpa mengizinkan pemuda itu untuk mengetahui apapun saat ini.

*
"Rio dapet donor, Ma? Beneran?" tanya pemuda itu. Rio memang kelewat penasaran dengan keajaiban yang tiba-tiba diterimanya ini.

Mamanya mengangguk. "Kamu bisa sembuh, Yo!" katanya sembari tersenyum.

Rio kontan memeluk sang mama. Hatinya benar-benar melonjak-lonjak saat ini.

'Gue sembuh, Shill! Lo harus tau ini.' ucapnya di dalam hati.

*
Pasca operasi, atau tepatnya sehari kemudian, Rio masih terbaring lemah di tempat tidurnya. Pukul 21.00. Entah mengapa, ia benar-benar ingin bertemu Shilla sekarang.

"Mau ketemu gue ya, Yo? Hehe." suara sopran tiba-tiba muncul dibalik pintu.

Rio mengernyit. "Shilla? Kok lo baru kesini? Lo udah tau kan gue sembuh? Shill, gue sembuh!! Lo bener. Kita emang nggak boleh putus asa. Shill, makasih." katanya tulus kemudian.

Shilla mengangguk. "Sorry, Yo. Yang penting kan lo udah sembuh. Hehe."

Pemuda itu mengaitkan tangannya ke tangan gadis itu. Cincin manis dan gelang cantik yang diberikan dulu terpasang dengan indah disana. Namun ada yang aneh.

"Lo sakit? Pucet banget Shill. Mana tangan lo anget gini?" katanya khawatir.

Shilla menghela nafasnya. Lalu menggeleng pelan. "Nggak papa. Mmm Yo, gue mau pergi."

Rio tersentak. Pergi?! Kemana?! Mengapa?! Kebahagiaan yang satu baru saja diterimanya. Mengapa kebahagiaan yang lain akan pergi?!

Pemuda itu masih terdiam. "Gue minta maaf kalo selama ini gue banyak salah sama lo. Hehe gue kan suka maksa-maksa lo gitu." sambung Shilla.

"Tapi.. Gue sayang sama lo, Shill." kata Rio lirih.

Rio mengerjap. Lalu menghela nafasnya kuat-kuat.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lagi. "YO! Hhh RIO!" kata mamanya panik.

*
Cakka masih memegangi gitarnya di taman Rumah Sakit tersebut. Sudah larut memang. Namun tak sedikitpun ia beranjak dari sana.

"Nyanyi dong, Kka. Atau nggak mainin gitarnya aja. Price tag ya. Aku kangen tau nyanyi bareng kamu gini!" rengek Shilla tiba-tiba. Entah datang dari mana.

"Operasi kamu berhasil? Shill, kamu masih pucet. Kenapa keluar kamar?"

Gadis itu menunjukkan braces yang tertata di giginya. "Pingin ketemu kamu" katanya cengengesan.

Cakka membetulkan posisinya. Dipetiknya senar gitarnya tersebut.

"Seems like everybody got a prise, i wonder how they sleep at night.." suara Shilla terdengar agak lirih.

"Eh, Kka, udah deh. Udah malem nih. Takut ketahuan hehe." katanya tiba-tiba. Lalu beranjak dari sebelah Cakka.

Cakka mengernyit. Mencegah Shilla pergi. "Aku sayang kamu.." katanya tak kalah lirih. Hampir tak terdengar.

"Aku harus pergi. Maaf, Kka."

*
"Yo, Shilla, Yo!!" kata sang mama dengan nada panik.

Rio mengernyit. "Shilla kenapa, Ma? Mama tadi ketemu dia ya? Tadi dia barusan dari kamar Rio."

Mamanya mulai menangis. Rio tentu saja bingung. "Mama kenapa ma??"

"Shilla.. Udah pergi.. Yo, Shilla pergi, Yo!"

"Iya ma. Tadi dia bilang, dia mau pergi. Pergi kemana sih ma? Mama tau nggak?"

Mamanya menatap anaknya nanar. Tak sanggup menceritakan semuanya. Tapi ia juga bingung. Shilla ke kamar Rio? Tapi dia terus terbaring lemah. Semenjak.. Ginjalnya diangkat. Kemarin malam..

*
Alvin dan Ify masih duduk di sofa kamar Shilla. Alvin terus mengatur nafasnya, sedangkan Ify, masih menenangkan kekasihnya itu.

"Kenapa Shilla pergi, Fy? Kayaknya kemarin aku masih marah-marah sama dia. Kenapa operasinya gagal, Fy?" racaunya tak karuan.

Alvin tiba-tiba memutar ulang kata-kata terakhir Shilla sebelum operasi dimulai.

Beberapa jam setelah Shilla koma, ia sempat sadar sejenak. Tingkat kesadarannya yang meningkat membuat dokter mempercepat operasi paru-paru dan jantungnya. Shilla mengidap paru-paru basah tingkat akut dan jantung bocor. Sesungguhnya masalah jantungnya bukan masalah, namun sejak kejadian kemarin, jantungnya kontan melemah.

"Kalau operasinya berhasil, berarti gue selamat nih ya. Mmm kalau gagal, ginjal gue, buat Rio. Izinin, please, kak.." katanya memohon.

Alvin berdecak keras. "Lo tuh masih aja mikirin orang lain. Iya, Shill. Iya. Tapi lo harus berusaha juga. Banyak yang sayang sama lo disini."

Sepuluh jam. Hanya itu kemampuan Shilla untuk mengundur kematiannya. Sepuluh jam setelah gagalnya operasi dan diangkatnya ginjalnya. Sepuluh jam terakhir gadis itu bernafas.

"Dimana Cakka?" tanyanya kemudian.

Ify mengangkat bahunya. "Tadi sih ditaman. Aku nggak tau, Vin."

*
Alvin dan Cakka masih direngkuh kesunyian tanpa akhir. Jangkrik pun tak berani mengeluarkan suaranya.

"Gue nggak akan nyalahin lo." Alvin mulai buka suara. "Kalau lo berhasil minta maaf sama dia kemaren, berarti lo selamet. Soalnya gue denger-denger kalo punya salah sama orang yang udah meninggal, terus belom minta maaf, itu bakal susah nantinya." kata Alvin lagi.

Cakka mengernyit. "Maksudnya?"

"She'd gone. Rest in her own place."

Pemuda itu menggeleng kuat-kuat. "Nggak mungkin, kak. Barusan dia nyanyi sama gue! Lo bercandanya nggak lucu banget sih!"

Alvin kontan mempertemukan kepalannya dengan pipi pemuda itu. "Goblok! Gue serius! Lo tuh yang bercanda! Dia nggak keluar kamar sejak kemarin! Bego!!"

Cakka terhuyung. Tubuhnya menimpah rerumputan. Namun ia tak peduli. Yang ada difikirannya saat ini adalah, tadi itu apa?

*
Rio berlutut di sisi pusara bernisan Ashilla Zahrantiara S itu. Sedangkan Cakka? Ia pun dalam posisi yang sama seperti Rio.

Seluruh peziarah telah pergi. Menghilang satu-satu dari sana. Hanya menyisakan keempat orang itu. Rio, Cakka, Ify, dan Alvin tentunya.

"Makasih atas malem itu, dan juga ginjal lo, Shill. Malem itu mungkin pertanda kalo tuhan udah rindu sama lo." kata Rio pelan.

Cakka kontan menoleh. "Lo juga didatengin Shilla?"

Rio mengangguk. "Lo juga?"

"Iya." Cakka menghela nafasnya. "Bro, sorry udah salah faham sama lo."

Rio mengangguk -lagi. Lalu mengusap nisan baru itu. "Cakka udah nyesel nih, Shill." katanya.

Cakka menunduk dalam-dalam. "Kalo gue nggak bentak dia, mungkin nggak akan kaya gini."

Alvin yang menjadi penonton kedua pemuda-penyayang-adiknya ini pun menggeleng. "Ini takdir. Tuhan udah nentuin Shilla bakal kaya gini. Jangan salahin diri lo sendiri. Shilla pun pasti nggak suka."

Ify menyetujui pendapat Alvin barusan. "Mmm kayaknya... Gue sama Alvin duluan ya, Yo, Kka."

Keduanya mengangguk bersamaan, lalu kembali menatap gundukan tanah itu.

"Shilla nggak pernah ngeluh. Gue kira gue bakal mati duluan dulu. Sumpah, gue nggak nyangka." Rio menghela nafasnya kuat-kuat.

"Gue aja baru tau kemarin. Dia bener-bener cewek yang kuat. Salut dah!"

Cakka kemudian merangkul Rio. "Kita bakal kesini terus, Shill. Biar lo nggak sendirian." katanya lalu pergi meninggalkan taman pemakaman keluarga itu.

Sesosok gadis manis tersenyum penuh arti pada akhirnya. Untaian pelangi di wajahnya itu menandakan kelegaan. Walau tak ada lagi dirinya disisi orang-orang yang disayanginya, semuanya berjalan dengan baik.

Kemudian sosok gadis tadi hilang entah kemana. "Yang pasti, gue akan selalu ada disamping kalian" desisnya kemudian.

0 speeches:

Post a Comment