Tuesday, June 28, 2011

gravity

Sebenernya ini bukan untuk cerpen-cerpennan. Tapi, noprob lah. Ini adalah sepenggal dari cerita –yang saya buat- yang pernah saya ceritakan ditwitter.

'Something always brings me back to you
It never takes too long
No matter what i say or do
I still feel you here till the moment i’m gone'

Menepis bukanlah hal yang mudah. Mengabaikan pun kelewat sulit untuk di lakukan. Sebagai pihak terlibat, gadis itu hanya terdiam. Terdiam pun bukan hanya diam. Ia terdiam karena yang ia bisa hanya menerima. Menerima konsekuensi apa yang ia perbuat terdahulu. Menerima efek gravitasi yang dibuatnya terdahulu.

Gravitasi. Bisa saja efek tersebut berupa penarikan. Bisa pula berupa penolakan. Itu akan menjadi semakin tragis apabila penolakan sekeras-kerasnya yang terjadi.

Dan Violet bukanlah gadis bodoh yang selalu diam, diam, dan diam. Walaupun ia tahu hanya itulah cara teraman untuk menjaga hatinya, menjaga agar sayatan-sayatan yang lalu tak terbuka kembali, namun batinnya memberontak. Ia berbeda. Diam hanyalah membuat hatinya semakin sesak. Semakin sakit.

'You hold me without touch
You keep me without chain
I never wanted anything so much
Than to drown in your love and not feel your rain'

Klise. Sesungguhnya kisahnya tak serumit apa yang di perkirakan. Hanya klise belaka.

“goblok! Haha dia Cuma php. Kenapa gue anggap serius? Goblok goblok!!” racau Violet tak karuan.

Waktu yang kelewat lama, mungkin itu penyebab dari kekacauan Vio. Atau mungkin, kerisauan ini telah mengendap dibenaknya. Oh! Atau mungkin, ia lelah.

Ia terlalu lelah untuk berpura-pura buta atau berpura-pura tidak ada karena sesungguhnya ia melihat dan ia masih ada. Ia terlalu lelah untuk mengikuti alur efek gravitasinya tadi. Lelah membiarkan hatinya terseret bersama perasaannya yang terabaikan. Andaikan ia dapat menyatukan hatinya dengan hati pemuda itu, ia yakin! Pemuda itu pasti tahu betapa porak-porandanya hati itu. Pemuda itu pasti tahu betapa kerasnya hatinya merintih kesakitan olehnya.

“haha. Mikir apa sih gue? Dia udah bahagia sama tu cewek. Kenapa gue masih begini aja? HAHA GOBLOK!!” ucapannya makin kacau.

“ck! Udah malem!”

Suara decakan itu membuat Violet menoleh ke arah sumber suara. Ia menengus pelan lalu berjalan pelan ke arah tadi.

“udah malem!” ulangnnya lagi.

“yaudah. Kalau udah malem terus kenapa?”

“elo tidur gih!”

“elo aja sana! Kakak nih kenapa sih?”

“jangan terlalu difikirin, Vi,” ucapnya lemah. Ia menduduki sofa dikamar adiknya itu.

“gue nggak mikirin kok. Lo ngomong apa sih?”

“lo kira gue nggak denger? Ck! Berhenti ngebohongin diri lo, Vi,”

Violet kontan tertunduk pelan. Topengnya terbuka dengan telak disini. ya. topengnya. Topeng yang memunculkan sikap angkuh, cuek, dan sebagainya terbuka.

“yaudah. Tutup tu pintu balkon lo. Udah malem. Lo tidur ya, Vi. Besok kan lo ke jogja. Gue ga mau elo sakit pas nyokap pulang nanti. Gue balik ke kamar nih ya. Sleep tight, dear. Good night.” Ucap kakaknya sembari mengelus puncak kepala sang adik pelan-pelan lalu berlalu, meninggalkan Violet yang masih menatap punggungnya.

“thanks.” Ucapnya setengah berbisik lalu menuruti titah kakaknya tadi.

*
Violet tersadar dari lamunannya. Ini sudah di depan sekolahnya. Ia segera turun dari mobilnya lalu melangkah menuju bangunan utama sekolahnya, SMA Bumi Nusantara.

Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. “Vi, lo udah ngerjain tugas pak Arya belum?”

“udah,”

“nyontek boleh dong?”

Violet mengangguk tanpa suara. Ia mengeluarkan iphone 4 terbaru dari saku kemejanya setelah itu.

“Shyll, buku gue di loker. Kayaknya ada di bagian bawah,” katanya lagi.

Shylla mendelik. “loker? Bawah?”

“iya. Udah gue kerjain minggu lalu,”

Shylla kontan terbelalak. Minggu lalu? “ajaib lo, Vi! Gue aja males banget! Yaudah deh mana kuncinya?!”

Gadis itu memberikan kunci lokernya. Lalu kembali fokus ke iphonenya. Mengabaikan sahabatnya yang berdecak heran –campur kagum- melihat tingkahnya sendiri. Melihat tingkah ‘ajaibnya’ yang kelewat langka.

“eh, Vi!” Panggil Shylla tiba-tiba.

“hm.”

“elo bukannya ke Jogja ya? Sama tu cowok ya? Vi, sorry nih gue ngga nemenin lo.”

Violet tersenyum masam. Ini bukan masalah tu cowok, fikirnya dalam hati. “gue jam 8 berangkatnya.” Ucapnya pelan. Halus.

*
Siangnya, kedua perwakilan SMA Bumi Nusantara telah sampai dihadapan sebuah bangunan megah tiga lantai bercat putih pucat. Inilah tempat yang akan digunakan untuk acara tersebut, semacam seminar remaja.

“lo tau kan kita sekarang di sekolahnya-“kata rekan Violet, Aga.

Violet mengernyit. Lalu mengangguk pasti. “iya. Gue udah tau kok.”

“terus? Lo nggak papa nih?” ucapnya lagi.

“ck! Nggak usah sok tau. Gue Cuma mau nyelesain masalah itu sama dia.”

“gitu?!”

“iya!”

*
Sesungguhnya hanya satu latar belakang Violet mengikuti seminar ini. Masalah itu. Hanya masalah itu. Tak ada yang lain.

Semburat rasa yang sempat hilang itu kembali menyergap ke permukaan. Tak ayal, Violet merasa kesulitan untuk menyelesaikan masalah itu. Rasa yang teramat berbeda untuk orang yang sama. Dan ini memang waktu yang pas banget, batinnya.

Gadis itu sesungguhnya tak ingin cara ini sebagai media eksekusinya. Hanya saja, ini memanglah waktu yang tepat.

Kali ini, gadis itu tak sendiri. Bersama timnya jurnalisnya, ia mengejar sosok yang tadi ditunjuk ketua pelaksana untuk dimuat di buletin. Sosok yang begitu dikenalnya. Sosok yang membayangi masa lalunya.

“kak, saya boleh minta fotonya?!” tanya Violet yang terfokus pada kamera-puluhan-juta yang dibawanya itu.

Pemuda itu mengerjap. Kata-kata tadi bukanlah sebuah pertanyaan baginya. Itu lebih mirip sebuah perintah yang harus dikerjakan dan akan mati apabila ditentangnya.

Suara itu.. Pemuda tadi langsung menatap wajah sang ‘penanya’ tadi. “elo...”

Sekejap –tak disangka- gadis itu memasukan kamera tadi lalu mengeluarkan kamera nikon biasa dari tasnya. “gue ga akan pernah ngefotoin lo pake tu kamera” desisnya tak terdengar.

Ketiga rekannya yang lain tak tahu menahu masalah ini. Mereka seraya penonton pentas drama yang kini mempertunjukkan adegan saling tak peduli. Namun salah satu dari mereka membuka suara seketika.

”maaf, kakak kak Davin kan? Kami ditunjuk untuk mewawancarai kakak oleh ketua pelaksana. Kakak ada waktu?” tanya Sarah sopan.

Mata Davin –pemuda itu- masih tak lepas dari gadis yang menyibukkan diri dengan kameranya itu. Namun ia tersadar ada seseorang diantaranya yang berbicara. “eh? Sorry? kalian tim jurnalis 2 ya? kelas berapa? Gue masih kelas sebelas”

“saya sama Radishka kelas sebelas juga. Ini kak Nilam kelas dua belas. Kalau dia Violet. Kelas sepuluh” jelas Sarah kemudian.

Davin menganggukkan kepalanya. “oh. Kalau gitu nggak usah panggil kakak” ucapnya sembari tersenyum

“ck. Nggak usah sok baik” desis Violet pelan –lagi.

Davin mendengarnya. Ia mengulum bibirnya.

“yaudah. Sekarang kakak berdiri disana! Mau saya foto dulu. Nanti baru kakak diwawancara mereka.” Kata Violet kemudian.

Pemuda itu mengangguk pelan. Acara ‘pemotretan’ itu terasa kaku. Diam. Violet menjadi tak yakin untuk melakukan eksekusi itu sekarang.

Violet menunduk dalam-dalam. Menahan kuat-kuat agar telaga beningnya tak menumpahkan cairan kesedihan –atau kebimbangan- itu.

Sudahlah. Ini memang kelewat sulit apabila dilakukan hari ini. Sepuluh menit pun ia tak sanggup. Tak sanggup berada di hadapan sang penyayat hatinya. Tak sanggup menahan luka hatinya yang menganga lebar.

“maaf, gue duluan.”

Ketiga temannya langsung mengernyit serempak. Davin pun begitu. “Vio kenapa sih?” tanya Radishka pada yang lainnya

“ga tau, Dish. Dia sakit tah? Enggak kan? Ini baru hari kedua. Kalau dia sakit gimana?” kata Nilam sedikit khawatir.

Davin mengerutkan dahinya sejenak. Ide itu keluar dari otaknya. “kalian kapan disuruh ngumpul artikel tentang gue?”

“emm besok, Dav.”

“hm. Gue akan nyuruh si ketua panitia untuk mundurin deadlinenya. Si Ari kan?”

Ketiganya mengangguk. “oke. Ini nomer gue. Kalau ada apa-apa kontak aja. Gue mau ngejer Vio dulu. Gue tau dia kenapa.”

Davin langsung meninggalkan ketiga orang tadi dalam keterdiaman. Bener kan, ada yang nggak beres, fikir Sarah dalam hati.

*
Pernahkah kalian bayangkan, ketika seseorang didekat kalian pergi menjauh tanpa alasan? Pergi menjauh dan takkan pernah kembali? Itulah penyebab semua ini. Semuanya.

Rinai hujan di tengah kesunyian membuatnya tak sesunyi itu. Gemercik rintikannya menyadarkan gadis yang masih termenung di gazebo samping lapangan basket itu. Akankah pelangi akan hadir setelah ini? Akankah lentera warna-warni itu sudi untuk menampakka dirinya? Gadis itu menghela nafas pelan. Lalu menggeleng. Nggak mungkin. Awannya sangatlah pekat. Mungkin, air mata langit akan terus mengguyur hingga matahari singgah dari langit. Senja yang kelabu, seharusnya tak begini.

Dua pemuda –yang tak jauh dari sana- hanya menatapnya nanar. Mereka sama-sama ingin merengkuh gadis rapuh itu. Namun...

Ego. Mereka sama-sama memiliki ego yang kelewat tinggi. Dengan segenap batinnya, salah satu dari mereka melangkah mendekati gadis itu.

'Set me free leave me be
I dont want to fall another moment into your gravity
Here i am and i stand so tall
Just the way i’m supposed to be
But you’re on to me
All over me'

Senja yang cerah tiba-tiba. Tak seperti tadi. Kali ini, pancaran jingganya sungguh sangat lembut. Guratan awan pun menghias indah semenanjung cakrawala. 17.57.

Gadis itu meletakkan handphonenya setelah melihat waktu. Sudah hampir setengah jam ia disini. senja. Saat kesukaannya dan... Ah tak begitu penting.

"ehm" seseorang kini ada di belakang gadis itu. Itu... Suara yang ia kenal. Suara yang sama. Namun tak setenang dahulu.

Gadis itu pun menoleh -walaupun ia tahu siapa pemilik suara itu-. Setelah beberapa detik menoleh tanpa kata-kata, gadis itu kembali ke posisinya yang tadi. Seakan tak ada siapapun disana.


"lo, masih suka senja, Vi?" tanyanya yang kini mulai mendekat dan kian mendekat.


Gadis itu hanya mengangguk tanpa bersuara. Ia tak ingin ada konfrontasi di sini.

"elo... Marah sama gue?" tanya pemuda itu lagi.

“maaf.” ucapnya pelan.

Violet menggeleng pelan. “haha. Maaf. Enak banget lo ngomongnya?”

“maaf” ulangnya lagi.

“ck.”

“maaf”

Kali ini Violet hanya diam. Kalaupun ia berbicara, cuma makan hati!

“maaf”

“kayaknya lo marah banget ya sama gue?"

“ck!”

Keterdiaman mencekam sejenak. Davin menatap wajah cantik itu dalam-dalam.

“ini bukan salah lo! Itu hak lo” ucap Violet tiba-tiba.

“gue sayang sama Killa. Tapi gue... sayang juga sama lo”

Violet tertawa pelan. “gue iya, Killa iya, ckck. HEBAT!! Udah lah, Dav, jangan nyapa gue lagi. You know why? That’s just gonna bring shitloads of bullshit and memories. And you know what else you’ll bring to me? My feelings. My fucking feelings for you. Enough, Dav. Stay. Away. From. Me!” ucapnya telak. Davin tak dapat berkata apapun lagi.
Cowok itu terdiam. Ia duduk bersandingan dengan Gadis itu, lalu menekuk lututnya -seperti gadis itu sekarang-.

"kayanya lo marah banget ya sama gue"

Tak dipungkiri. Saat mengucapkan kata-kata barusan, angin tiba-tiba saja berhembus. Meniup wajah manis dan rupawan sang pemiliknya sehingga suasana terlihat lebih dramatis dan... Keren.

Gadis itu masih terdiam. Ia tak mampu mengeluarkan kata apapun lagi. Jikalau ia mampu, pasti sang telaga bening pasti akan mengalirkan airnya. Ia berusaha mengatur nafasnya serta hatinya. Berusaha agar tak terlihat lemah dihadapan pemuda ini.

"gue ga marah, kak" FYI, pemuda itu adalah kakak kelasnya dulu sehingga gadis ini dengan fasih memanggilnya dengan sebutan "kak".

"bohong"

"terus kenapa kalau gue bohong? Toh lo ga peduli kan, kak?"

Davin melengos. "gue ga suka lo panggil 'kak', Vi. Biasanya lo kan ga panggil begitu"

Violet menghela nafas. "terus? Kakak itu kakak kelas gue. Ga sopan dong kalo gue panggil nama? Lagian... Gue kan bukan siapa-siapa lo.... Lagi"

Lagi-lagi cowok itu diam. Tak menyangka akan menjadi seperti ini. Violet yang sejak tadi menyerangnya dengan kata-kata yang tajam kini tersenyum. Tersenyum pahit.

Tiba-tiba saja, handphonenya berbunyi. Alunan vokal Taylor Swift yang memukau itu pun terdengar.

'this night is sparkling, don't you let it go? I'm wonderstruck blushing all the way home. I'll spend forever wondering if you know, i was enchanted to meet you'

Terdengar agak lama. Violet sengaja tidak langsung mengangkatnya karena ia memang ingin. Ini lagu kesukaannya. Aneh? Terserah.

"halo, Aga"

Wajah gadis itu kembali memaparkan senyumnya.
"iye... Elo udah disana?... Oke. Gue kesana deh... Thanks, Ga"

Vio beranjak. Sudah mulai petang. Cahaya matahari sudah hampir tak nampak.

Cowok itu tiba-tiba menjulurkan tangannya dan menggenggam tangan gadis itu. Seakan tak ingin ia tinggalkan.

"lepas. Gue mau balik"

Cowok itu menatapnya tajam. "sama siapa?"

Violet memiringkan senyumnya. "emang kenapa?"

"just asked"

"ck! Temen gue! Kenapa? Oh iya. Berbahagialah sama Killa! Gue ikhlas!! Tapi lo jangan gituin gue lagi!"

You loved me cause i’m fragile
When i though that i was strong
But you touch me for a little while
And all my fragile strength is gone

I live here on my knees as i try to make you see that you’re everythings i think i need here on the ground
But you neither friend or for though i can’t seem to let you go
The one thing i still know is that you’re keeping me down

Violet lega. Setidaknya, hal yang selama ini ada di benaknya sudah dikeluarkannya. Namun ia berbalik sejenak.

“nih. Simpen. Ini gue buat pas gue lagi galau. Karena elo” lanjutnya lagi sembari memberikan sehelai kertas pada pemuda itu.

Davin menerima kertas tadi. Ia membuka, lalu membacanya.

Retak seperti es
Menjalar terus
Menetes seperti air
Membasah laksana hujan
Gadis itu disini
Terkena pecahannya

Mengalir layaknya sungai
Terbawa arus, hanyut disana
Lalu mencair didalamnya
Dan aku disana
Rusak bersamanya

Berlangsung lagi seperti sebelumnya
Berjalan lagi seperti awalnya
Bangkit lagi seperti seharusnya
Dan aku disana
Menjaga agar tak pecah, seperti sebelumnya (Fitriani Meizvira - Pecah)

'You’re on to me, on to me, all over

Something always brings me back to you
It never takes too long'

Itulah efek dari gravitasi. terkadang bahagia, terkadang menyakitkan. Vio tertarik dengan gravitasi yang dikeluarkan Davin, namun kemudian ia terlontar. jauh. dan setelah itu, giliran Davin yang tertarik. dan ia -kembali- terlontar. gravitasi, memancarkan medan yang kelewat kuat, hingga hanya yang kuat dan mampulah yang mampu melewatinya.

YAAAAAAAAAAAAAAAA THEENDTHEEND haha ini yang bagian terakhir dikutip dari karya teman saya, Ira wu loveyouxoxo ini cerpen pertama yang berani saya publikasikan. Bahasanya hancur, itu pasti.

0 speeches:

Post a Comment